Jumat, 05 Agustus 2011

Hampir terlewat bidadari itu


Aku begitu gundah. Telah terlewat milad ke 27 tahunku, tapi  masih belum ada juga wanita yang cocok untuk ku dijadikan sebagai calon istri. Sedang keluarga besarku begitu mengharapkan aku bisa melepas masa lajang tahun ini juga. Terlebih ibunda tercintaku-Bu’e. Sebenarnya soal kapan akan menikah belum terlalu terpikirkan sebab aku masih enggan mencari-cari atau memilih-milih calon. Jika diingat-ingat, sudah berapa gadis yang menolak secara halus atau bahkan terang-terangan ketika aku bermaksud memperistrinya. Alasannya cukup simple, tapi tak masuk akal bagiku.
“Saya belum ada niat menikah”
 “Bisa dirubah sedikit gk penampilannya, sekedar pake jeans gitu, jangan pake celana norak gitu “
 “Mas Arief terlalu alim, saya ndak suka”
Itulah beberapa alasan mereka dari sekian banyak penolakan yang memang akulah yang bodoh-mengharapkan para wanita-wanita modern dengan karir yang melejit untuk menerima lamaran orang sekuno aku, sekuper aku, sesederhana aku, bahkan sealim aku. Tapi dimana salahnya?

Yah, ntah lah… tapi setidaknya paradigmaku tentang wanita-wanita itu kini tak lagi baik.
Dan lagi-lagi gundah itu datang, bahkan makin memanas seketika Bu’e  mengungkit-ungkit hal itu di tengah sakitnya.
“Kamu itu kapan mau nikah toh Le…” begitu ucap Bu’e tertatih, wajahnya sedikit pucat akibat sakitnya.
“Insya Allah tahun ini Bu’e…” jawabku tanpa basa-basi meskipun sadar masih belum ada satupun wanita yang ku nobatkan sebagai calon istri.
***
“Hhhhh…” Semalaman suntuk aku memikirkannya, bukan karena keluarga besar. Tapi lebih dikarenakan Bu’e. Belum pernah aku mengecewakan Bu’e, dan tidak jua ingin mengecewakannya hanya karena hal ini.
“Yap! Apa susahnya cari calon istri” bisikku dalam hati, menyemangati diri sendiri, mengajak bayanganku berdiskusi di depan cermin.
“Yang penting mau sama aku yang kampungan ini…sudah cukup untukku”
***
“Rief, mau bulek kenalin sama wanita cantik gk?” lontar bulek Anik saat aku duduk di warung kopinya. Ku kerutkan sedikit keningku.
“Bu’e mu cerita sama bulek waktu bulek jenguk kemarin.” Tambahnya seolah tahu keherananku.
“Kalo mau besok datang ke rumah bulek ya” aku hanya tersenyum malu.
***
Memang cantik, benar-benar cantik… Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya sawo matang, begitu manis dengan tahi lalat kecil di dagunya. Matanya sayu, tampak kelembutan ada di dalamnya. Jemarinya bersih. Rambutnya panjang lurus nan menghitam. Masya Allah… aku sampai terlena memandangnya. Tapi lihatlah ketika semua kecantikannya itu luntur dimataku ketika pertanyaan ketiga ku ajukan padanya.
“Kalau aku mewajibkan istriku berjilbab, apakah Intan mau…” ucap Arief terpotong tatkala melihat raut  terkejut di wajah Intan. Ia menghela nafas perlahan. Benar, sangat sulit pastinya meminta atau mungkin lebih tepatnya memaksa wanita secantik dan semodern Intan untuk berjilbab. Tapi itulah salah satu syarat yang wajib diikuti siapapun yang ingin menjadi istriku
“Bukan dia…” bisiku dalam hati, ku tarik dalam-dalam pandanganku yang sedari tadi terarah pada Intan. “Astakhfirullah…” lirihku.
***
“Rief, ada cewek titip salam tuh” sapa Adam, teman kerjaku pagi itu. Untuk kesekian kalinya namun dengan ‘penitip salam’ yang berbeda.
“Wa’alaikummussalam. Siapa Dam?” lanjutku.
“Ulfa, katanya sih simpatik sama kamu”
“Ulfa?”
“Iya. Itu loh yang seksi itu” jawabnya sambil menaik turunkan alisnya.
“Aku sih maunya yang pasti-pasti aja Dam. Gk cuma modal simpatik” jawabku tenang dengan senyuman.
“Nah itu dia, dia juga bilang langsung setuju kalo kamu mau langsung melamarnya Rief” aku terdiam sejenak mendengar jawabannya.
“Dia curhat toh samamu Dam?” tanyaku menyelidik.
“Hmm.” Angguknya. “Bahkan tentang cowok-cowok dia dulu. Beneran beruntung kamu Rief kalo punya cewek setipe Ulfa. Sudah cantik, seksi, cerdas, banyak cowok yang naksir dia lagi”
Aku tersenyum. Tak hendak ku tanyakan alasannya mengatakan aku akan beruntung, sebab belum kenal saja aku sudah merasa rugi. Aku merasa rugi jika aku memperistri  wanita yang jelas-jelas pernah melakoni ‘pacaran’ apalagi sampai beberapa kali. Aku akan merasa rugi jika istriku telah banyak mengenal laki-laki di luar sana. Dan aku akan merasa rugi sebab aibnya telah dihumbar-humbarnya sendiri. Juga bukan wanita yang banyak diminati lelaki dengan pandangan miring yang ku inginkan untuk ku jadikanistri serta ibu dari anak-anakku, tapi wanita yang diminati banyak lelaki sebab kehormatannya sajalah yang masuk sebagai kandidat.
***
“Bulek bilang ada wanita cantik yang naksir kamu Rief” Bu’e membuka obrolan ditengah makan siangku minggu itu. Sebisa mungkin ku tanngapi dengan tenang.
“Cantik gk Rief?” tambahnya dan mulai memandangku.
“Cantik Bu’e” jawabku. Tatapan Bu’e kian menajam padaku. Ku tangkap raut penasarannya.
“Insya Allah, Bu’e nanti dapat mantu yang lebih cantik. Gk hanya wajahnya…” jawabku to the point, tersenyum. Bu’e menarik pandangannya, kecewa mungkin.
“Kamu itu anak Bu’e satu-satunya Rief. Setelah bapakmu pergi, Bu’e kesepian. Belum lagi kalau kamu kerja di luar kota” lontarnya sembari membereskan meja makan.
“Bu’e… jodoh  Arief sudah ditulis di Lauh Mahfuz. Jangan diburu toh. Nanti juga moro sendiri” jawabku menyabari Bu’e.
“Ya, tapi kamu itu sudah masuk kategori wajib menikah loh Le. Kerja sudah mapan. Umur sudah matang. Mau nunggu apa lagi? Toh Bu’e juga sudah pengen nimang cucu” ujar Bu’e. Ku hela nafas kecil.
“Ya wes… nanti Arief mau reunian sama temen-temen kampus. Ntah ada wanita yang kayak bidadari mau Arief nikahi” guyonku menanggapi keluhan Bu’ , mengalah. Bu’epun tersenyum.
***
“Sudah nikah?! Alhamdulillah…” ucapku terkaget-kaget melihat Zul, yang dulu begitu culun menggandeng istrinya di hadapku juga yang lainnya, masih dikenakannya kacamata hitam nan bulatnya itu. Sesungging senyum kemenangan diuntainya. Yah, menang selangkah dibanding aku mungkin…
Rahmat, Dhani, dan Zul begitu mesra dengan istri masing-masing. Mirza datang bersama calon istrinya. Sedang Hanif disertai dengan istri dan seorang ‘pahlawan kecil’nya. Sementara aku dan Furqan-sahabat terdekatku-yang masih melajang ini sedari tadi hanya bisa tersenyum ikut mengiringi kebahagiaan mereka, para sahabatku yang telah bertemu kesuksesan dan jodohnya.
Semua terasa begitu akrab, seoalah tiada waktu yang pernah membuat kami saling terpisah seperti sekarang ini. Sejenak terlupakan olehku tentang ‘calon’ yang masih ku harapkan ku temukan dimanapun ia berada.
Siang makin beranjak, sebagian dari kami berhambur mencari masjid untuk shalat Djuhur, begitupun aku. Sedang yang lainnya masih ada yang asyik mengobrol, mengurai kisah hidup masing-masing.
“Allahu Akbar…” takbirku di awal shalat.
***
 “Aku duluan ya Fur” pamitku pada Furqan yang sedari tadi duduk di dekatku-saling curhat. Juga pada yang lain.
“Buru-buru mas?” Tanya Annisa, istri Zul. Zul tersenyum padaku.
“Tidak juga mbak, cuma takut kesorean nanti” jawabku. Yang lain ikut memandangku.
“Mari… assalamu’alaikum semua”
***
“Astahfirullah… dompetku”  ucapku, menyadari dompetku yang tertinggal.
“Di masjid” ingatku. Ku putar balik langkahku.
Seketika sampai, dompet hitamku itu tampak masih berada tepat persis di tempat awal aku meletakkannya, dekat pintu masuk sisi kiri masjid tapi agak menyudut.
Tapi… seorang wanita tengah shalat di dekat pintu itu. Mana mungkin dompet itu ku ambil begitu saja sedang untuk mengambilnya berarti aku harus melewati wanita itu.
Yah, ku putuskan untuk menunggunya selesai saja.
***
“Loh, dimana dompetku?”
Aku tersadar, beberapa menit kemudian mungkin. Yah, aku begitu lelah hingga tertidur sejenak tepat sebelum pintu masuk. Dimana aku terduduk berniat menunggu wanita tadi menyelesaikan shalatnya.
“assalamu’alaikum… Pak, bisa minta tolong?” tanyaku pada penjaga masjid yang baru saja datang.
“Saya kehilangan dompet. Kemungkinan seorang wanita yang membawanya, mukenanya warna cokelat muda. Tolong berikan ini padanya…” ucapku seraya memberikan kartu nama. Bapak tersebut tersenyum sambil menerimanya.
Aku pergi dan berharap wanita itu mau mengembalikannya.
“Apa dia yang mengambilnya?” tanyaku sendiri.
***
“Wa’alaikumussalam…” suara Bu’e dari dapur, menjawab salam seorang tamu. Sedang aku tengah menatap laptoku di dalam kamar.
Terdengar olehku dua suara wanita memasuki ruang tamu. Yang seorang pasti Bu’e,seorang lagi? “Siapa?” tanyaku. Suaranya tidakmenunjukkan bahwa ia seumuran Bu’e.
“Rief…” panggil Bu’e. Segera aku beranjak, dan perlahan ku buka pintu kamarku.
“Subhanallah…” desisku dalam hati.
Cantik…
Dan ia berjilbab, lumayan lebar, hijau muda jilbabnya kian mempercantik wajahnya.
“Ini anak ibuk, Arief” ucap Bu’e. memperkenakan aku pada si cantik itu.
Ia sekejap melirikku, lalu kembali ditundukkannya wajahnya, dan sesekali memandang Bu’e sembari tersenyum. Begitu manis…
“Tia bilang dia menemukan ini” ujar Bu’e sambil menunjukkan dompet serta kartu namaku.
Astakhfirullah…
Keterpesoaankupun buyar seketika.
***
[Aku]
Malam nanti ada syukuran, sudah dapat calon. Mohon kedatangannya [pesan terkirim]
Beberapa menit kemudian…
[1 pesan diterima]
[Furqan]
Alhamdulillah. Insya Allah…
***
“Calon istrinya mana?” Tanya Furqan sesampainya.
“Ya di rumahnya lah Fur. Kan belum akad” jawabku dengan senyum lepas.
“Fotonya ada?” tanyanya lagi begitu penasaran. Ku tunjukkan fotonya di dompetku.
“Cantik. Kok mau dia sama kamu Rief?” guyonnya. Kami tertawa kemudian sambil saling melempar guyonan. Yah, sekedar menceritakan kronologis pertemuanku dengannya-Dini-yang begitu singkat di pesta pernikahan sepupuku. Saat itu Dini datang menyapa sepupuku bersama seorang lelaki. Ia berjilbab tapi  jilbabnya masih sekedar sebagai penutup rambut, itupun tampak begitu dipaksakannya. Sebab rambutnya masih ada yang bersembuan keluar. Wajahnya tampak pucat, di pipi kirinya terdapat lebab biru yang mulai memudar. Yang kemudian setelah hubungan kami berlanjut, diakui sebagai hasil kekerasan pacarnya.
“Sama siapa datangnya Fur?” tanyaku kemudian.
“Itu” tunjuknya padaku. Ditunjuknya seorang wanita yang tengah berbincang dengan Bu’e. begitu akrab. Lumayan tinggi posturnya, jilbabnya besar. Ia membelakangiku hingga tak ada kesempatan meski sekedar untuk melihat wajahnya. Siapa??...
***
“Rief… kata bulekmu Dini masuk rumah sakit” ucap Bu’e, begitu masuk ke kamarku.
“Sakit apa Bu’e? kok Arief gk di kabari?” tanyaku.
“Ndak tau. Tapi tadi bulekmu ngomong…” Bu’e terdiam sejenak menatapku. Matanya memerah, seperti hendak menangis atau mungkin marah.
“Bulek ngomong apa Bu’e?” ku dudukkan tubuhku di ranjang yang sedari tadi siang berbaring lelah.
“Bulek bilang Dini keguguran”
“Astakhfirullah…” jawabku bangkit.
“Maksudnya apa toh Bu’e?” lanjutku begitu kaget.
“Iya Le. Bulek bilang Dini keguguran…” air mata Bu’e mulai menetes. Jantungku melemah, denyutnya seolah menghilang sejenak. Kakiku kaku. Lidahku kelu. Tubuhku beku…
“Bagaimana mungkin Dini keguguran sedang Arif baru 3 hari bertunangan dengannya Bu’e?!” tangiskupun tumpah mengiringi tangis Bu’e. ku sungkurkan tubuh lemahku di hadapnya.
“Bu’e juga ndak tau Le… bulek cuma ngomong gitu. Apa bukan kamu Le?” Tanya Bu’e meragukanku, masih dengan tangisnya. Ntah apa yang sebenarnya Bu’e tangisi, akan bayi yang dikandung Dini atau apa?
“Wallahi Bu’e, Arief ndak pernah nyentuh Dini atau wanita manapun yang belum menjadi hak Arief” jawabku sedikit meninggi.
“Lalu ini apa toh Le. Knapa bisa seperti ini?” Bu’e makin histeris meski suaranya tetap begitu lemah.
Aku terdiam, membisu.
Membisu sejak kejadian itu. S jak Dini menjelaskan kondisinya sebelum bahkan saat bertunangan denganku-ia berbohong-bahkan kebisuanku semakin menjadi-jadi tatkala mendengar kabar pernikahan Dini dengan lelaki yang dulu  ia akui sebagai ‘abang’ nya itu sebulan kemudian. Yah, akulah yang memang bodoh, begitu saja menaruh rasa iba pada kekerasan yang ia dapat yang kemudian hendak menjadikannya istri tanpa berfikir yang lainnya.
***
“Ndak ada yang ndak mungkin di dunia ini Le. Kalo Yang Maha Kuasa sudah berkehendak, pasti terjadi. Mungkin Dini bukan jodohmu. Yo mbok sabar…” nasehat Bu’e. awalnya Bu’e lah yang begitu terpukul, tapi kini malah aku. Aku… sebab setidaknya telah ada cinta yang tumbuh untuknya, Dini.
Aku tersenyum kecut, bukan menanggapi omongan Bu’e. Tapi seolah hendak menertawakan diri sendiri, mengapa masih belum ikhlas sedangkan kini Dini telah menjadi istri orang lain.
Bukan,bukan itu yang tidak ku ikhlaskan. Bagaimana Bu’e tersenyum begitu lepas saat Dini ku perkenalkan padanya, bagaimana Bu’e sudah mempersiapkan semuanya demi lamaranku untuk Dini, bagaimana Bu’e begitu menghargai keluarganya,bahkan bagaimana Bu’e menangis histeris saat tau kondisi Dini yang sebenarnya-aku belum ikhlas…
Terkadang, ada tangis untuk semua yang begitu saja terjadi, dalam sendiriku dan dalam tahajudku… begitupun malam ini.
Jam dinding menunjuk puk,ul tengah malam tepat.
[1 pesan diterima]
[Furqan]
Insya Allah, ada jodoh yang lebih baik untukmu kawan
Semakin menggenang air mataku, pesan singkat Furqan di tengah malam tadi seolah menjadi batrai baru bagi semangatku. Cinta pada seorang yang bukan jodohku, kini hilang begitu saja. Allahlah yang memudahkannya.
[Aku]
Amin… doa’a ya Fur [pesan terkirim]
***

[1 pesan diterima]
[Furqan]
Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, kapanpun
Balas Furqan saat ku kirimi ia pesan bahwa aku ingin berkunjung ke rumahnya.
***
“Assalamu’alaikum…” Salamku.
“Wa’alaikummussalam…” jawab seorang wanita dari dalam rumah Furqan. Bukan bu Masitah-ibu Furqan-yang ku dapati. Tapi…
“Mas Arief, silahkan masuk. Kak Furqannya lagi keluar sebentar” ucapnya. Pandanganku masih saja mengarah pada wajahnya. Sedang ia langsung menunduk.
“Sepertinya saya kenal” ucapku kemudian saat ia keluar dari dapur membawa nampan berisi air minun, pandangannya masih menunduk. Akupun tak ingin lama mengamatinya. Takut ia terganggu.
“Iya, saya Tia. Yang waktu itu ke rumah mas mengembalikan dompet” jawabnya singkat lalu duduk di kursi yang berjauhan dari tempat dudukku.
“Oo… iya, baru ingat” jawabku.
“Kok di rumah Furqan?” tanyaku begitu bodohnya. Ia tak lantas menjawab, hanya menguntai senyum namun masih saja menundukkan wajahnya. Begitu menjaga pandangan…
Seketika itu juga terlihat olehku foto keluarga Furqan yang terpampang begitu apik di dinding ruang tamu. Dan… di sana juga ada Tia, bersebelahan dengan sayah Furqan  ???
“Adiknya Furqan?”
“Iya…”
“Subhanallah…” desisku.
Seolah ada semilir angin terlewat di hati, getarnya mendesir di dada. Dan seolah ada sengatan kecil yang membuatku sedikit geli namun rasanya begitu menakjubkan. Ku tundukkan pandanganku, tak ingin pandangan yang mulai tak wajar ini makin menyelidik raganyayang tertutup jilbab lebarnya. Takutku, hanya jika Tia medapati pandanganku tertuju padanya.
***
Seminggu kemudian…
[Aku]
Teman mana yang begitu tega menyembunyikan hartanya, sedang teman lain begitu membutuhkannya [pesan terkirim]

[1 pesan diterima]
[Furqan]
Wah… seperti pujangga saja Rief. Ada apa toh?

[Aku]
Apa aku boleh meminta sedikit hartamu Fur? [pesan terkirim]

1 pesan diterima
[Furqan]
Rief… Rief… sejak kapan kamu pandai berkata ambigu seperti ini? To the point saja

[Aku]
Perlu kamu ketahui kawan,aku sudah 2x bertemu adikmu. Dan dia begitu cantik. Maaf aku lancang, Tapi biarlah aku to the point seperti katamu. Singkatnya, bolehkah sahabatmu ini mengkhitbah adikmu? Jika adikmu belum ada yang mengkhitbah tentunya [pesan terkirim]

[1 pesan diterima]
[Furqan]
Tepatnya kamu sudah 3x bertemu dengannya. Tapi yang terpenting, Adikku belum ada yang mengkhitbah. Untuk lebih memastikan, Ini no hpnya,


[Aku]
Apa tidak terlalu lancang aku mengiriminya pesan lewat sms? [pesan terkirim]

[1 pesan diterima]
[Furqan]
Insya Allah tidak, aku telah meminta ijin pada adikku dan dia tersenyum Rief. Insya Allah ini positif

Ya Allah… tiada kata yang mampu aku urai saat sms terakhir Furqan aku baca “insya Allah ini positif” apa artinya?? Aku pastinya tahu, tapi kegugupanku saat menatap no hp adiknya begitu menguasaiku. Desiran di hatiku makin menguat, lebih kuat dibanding saat kali permata aku bertemu ia di rumahku bahkan di rumahnya juga.
***
Hingga dua hari kemudian, belum satupun pesan yang ku kirim untuk Tia. Ada rasa maluku padanya. Tapi terkadang ada juga rasa takut akan ada lelaki lain yang hendak mengkhitbahnya. Astakhfirullah… perasaan apa ini?
“Aku harus, segera…” ucapku sendiri.
Ku raih hpku, dan ku pilih no Furqan
“Assalamu’alaikum…” salamku.
“Wa’alaikumussalam” jawab seorang wanita di sebrang sana.
“Maaf ini siapa? Kak Furqannya lagi di kamar mandi” jawabnya.
Tia…. Tak sanggup lagi ku lontarkan jawaban, pastilah ini Tia.
“Halo” ucapnya.
“Iya halo” jawabku gugup.
“Ini Arief. Tia ya? Kebetulan, memang perlunya samaTia” lanjutku sedikit gentleman.
“Tapi gk sopan kalau pake hp Furqan” lanjutku lagi.
“Bukannya mas sudah punya no Tia?” jawabnya lugu. Ahh bodohnya aku,pura-pura tidak menyimpannya.
“Assalamu’alaikum” salamku sekali lagi, tapi kini pada hp Tia.
“Wa’alaikumussalam” jawabnya lembut.
…………..
Kami terdiam. Aku pun Tia tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka omongan. Ia terus saja diam. Apa Tia sudah tahu maksudku? Hingga ia membiarkanku harus terlebih dahulu membuka obrolan?
“Maaf Tia, mungkin terkesan kurang baik. Tapi sebelumnya saya mau Tanya, kak Furqan sudah ada cerita sama Tia?”
“Cerita apa mas?” jawabnya begitu akrab, namun suaranya begitu rendah.
“Hmm berarti belum ya”
“Sepertinya belum” jawabnya lagi. Ahh,untuk apa aku terlalu banyak basa-basi. Toh Furqansendiri sudah menjamin bahwa ini akan menjadi kebaikan untukku.
“Kalau seandainya Tia belum ada yang mengkhitbah, mas mau mengajukan diri…” ucapku mulai tenang.
Tia sejenak berdiam.
“Sudah ada Mas…”
Hhh… seketika kami begitu hening.
Selang 7 menit kemudian…
“Halo” ucapku.
“Iya halo” jawabnya.
Kembali aku terdiam, tak tahu kata apa lagi yang hendak ku lontarkan. Tapi tiba-tiba,
“Mas boleh mengutarakan maksud mas pada ibu dan ayah…” jawab Tia mengejutkanku.
“Bukannya…”
“Tia tolak” jawabnya langsung seolah tahu apa yang hendak ku tanyakan.
“Tia tutup dulu telponnya mas, assalamu’alaikum” tutupnya. Suaranya begitu jernih,seolah menyimpan rasa malu terhadapku. Begitupun aku.
“Wa’alikumussalam warahmatullah…”
Ya Allah… biarlah cinta ini mengair untuknya, Tia, yang ku harap memang benar ia jodohku.
***
Setahun kemudian…
 “Alhamdulillah… cucu Bu’e laki-laki Rief” ucap Bu’e sedikit menjerit dari dalam kamar bersalin, kepalanya melongok keluar. Tangiskupun mengalir sambil terus mengucap syukur, aku beranjak dari ruang tunggu menuju kamar itu, kamar dimana ada 2 wanita yang begitu ku cintai, serta kamar dimana ‘pejuang kecil’ ku yang baru lahir.
Alhamdulillah ya Allah, segala puji bagi Mu atas rahmat serta karuniamu untuk keluarga kecilku kini…




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar