Minggu, 13 Maret 2011

Bus Sekolahku Paling Oke

Hampir tiap pagi-kecuali minggu-aku dan seluruh anak-anak sekolah yang asalnya dari Sidorejo, desaku tercinta, berangkat ke sekolah dengan memanfaatkan jasa bus sekolah desa.

Sekilas dari luar, body busku-eh bus kami maksudnya-tampak putih, bersih, kokoh dan nyaman lah pokoknya. Tapppi… bagi yang pernah masuk atau bahkan nyoba naik bus kami ini, uuugghhh… dijamin bakal ngasih komentar-komentar yang enggak enak.

          Bagaimana tidak, meski dari luar cat putih bus ini masih mengkilat seolah keluar dari pencucian bus termahal di desa, tapi dalamnya-bbeeehhh ancur eeih-karat dimana-mana, tampak kursi busa yang hanya tinggal kulit dan pegasnya saja masih juga belum diganti, kaca jendela yang super cling sampe-sampe angin atau bahkan sampah bebas terbang masuk, belum lagi pintu masuk yang engselnya ntah masih nyangkut ntah enggak, ditambah lagi terkadang ada juga yang muntah karena pengapnya udara karena penuh sesaknya bus.

          Bayangkan, setiap pagi aku dan teman-teman seperjuanganku menempuh jarak hampir 8 km, melewati perkebunan sawit, sungai, jalan menanjak dan menurun, selama hampir 1 jam demi sampai ke SMA N  Gunung Meriah dan menuntut ilmu. Hebat enggak tuh.

          Seperti hari ini…
          “Yok… dah hampir jam 7 bus kok belum dateng juga ya?” tanyaku pada Doyok-tetanggaku yang kebetulan sekolah bahkan kami duduk di kelas yang sama-saat kami tengah berdiri mematung di halte bus di tengah desa.
          “Ah, manalah aku tau. Ko kira itu bus punya nenek ku apa” jawabnya melawak. Aku tersenyum kesal.
          “Eh, cantik kali ko hari ini Mel” komentarnya padaku.
          “Baru tau?? Aku memang cantik dari orok!” jawabku.
          “Beh!! Nyesal aku.” Ucapnya tertawa. Ku monyongkan bibirku sambil menyunggingkan senyum kecil padanya.

          Tiba-tiba, terdengar sepekik suara jeritan dari arah ujung jalan.
          “Ameeeel…” aku menoleh, dan tampak Intan berjalan perlahan.
          “Busnya udah nunggu di belakang kantor desa tuh. Cepetan, nanti ketinggalan” teriaknya. Aku dan Doyok sentak berlari ke arahnya.
          “Kok di sana?” tanyaku.
          “Kata bang Agos (supir bus) kalo lewat depan jalannya becek, takot mogok katanya” jawab Intan. Benar juga, tadi malamkan hujan, pikirku sambil berlari mengikuti Intan.

“Bus pasti udah penuh ni” pikirku. Dan ternyata benar, aku, Doyok dan Intan tak punya peluang duduk nyaman hingga sampai ke sekolah, ya mau tidak mau kami harus berdiri seperti yang lainnya.
          Aku tepat di belakang Doyok, sedang Intan mulai menggenggamkan tangannya pada Arif-cowok yang baru 2 hari dipacarinya-yang ternyata telah ada di dalam bus sejak tadi. Kami berempat terhimpit di tengah-tengah penumpang lain.
          “Pegangan ya Mel, pegang pinggangkus juga aku rela” celoteh Doyok.
          “Ugh… sapa juga yang mau megang kamu Yok-yok…” jawabku meski sebenarnya tanganku telah mencengkeram tas ranselnya. Doyok cuma tertawa geli saat melihat aku cepat-cepat melepas cengkramanku pada tasnya.

          Bang Agos menyalakan mesin bus, dan bus perlahan mulai melaju.
          Lima belas menit perjalanan kami, bus melaju dengan amat sangat nyaman, itu karena kecepatanya yang relatif sangat rendah. Mungkin karena banyak kendaraan lain yang lewat jalur ini makanya Bang Agos sedikit hati-hati, apa lagi jalan ini cukup banyak tanjakan dan bahkan kadang menurun begitu terjal, beda dengan jalur utama yang mulus tidak banyak tanjakan dan turunan-meski becek kalo sedang turun hujan.

          Walaupun tadi malam hujan turun begitu deras, tapi pagi ini matahari sangat cerah. Membuat kami, penumpang-penumpang kecil dengan seragam putih abu-abu kegerahan. Banyak anak-anak sekolah yang biasanya berangkat sekolah dengan sepeda motor ayah mereka tapi hari ini ikut naik bus, takut kalo-kalo hujan turun lagi mungkin. Alhasil, bus yang biasanya lengang penumpang kini manjadi sedikit padat.

          “Panas kali” ucapku. Doyok pun juga tampak mengibas-ngibaskan kemeja putihnya.
          “Ugh……” desis Doyok tiba-tiba sambil menarik dalam-dalam hidungnya.
          “Bauk apa ni Mel?” tanyanya kemudian. Aku mencoba mencari tau dengan mengendus-enduskan hidungku ke sekeliling. Benar. Ternyata ada bau tak sedap, semacam bau….. kentut!!
          “Siapa juga yang tega buang gas di tengah-tengah bus pengap gini!” ucapnya lagi. Penumpang lain mulai tampak ikut-ikutan menutup hidung. Ternyata besar juga dampak bau kentut ini. Ha ha ha, aku geli sendiri.

          Belum juga menghilang bau kentut super busuk tadi, kini penciuman kami kembali dikejutkan bau tak sedap. Bau limbah, ya ini bau limbah sawit yang membusuk. Yah… semua penumpang kembali menutup hidung termasuk bang Agos. Apes banget ya nasib kami hari ini. Hiks hiks…
          Syukurlah, limbah busuk tadi telah terlewat jauh di belakang. Kini bus melaju dengan nyaman tanpa ada bau yang terasa aneh di hidung kami lagi.
          Tapi lagi-lagi ada saja yang terjadi, tiba-tiba terdengar suara….
          Dorr!! Ban belakang sebelah kiri bus pecah!
          Semua penumpang terkejut. Bus melaju oleng ke kiri, bang Agos tampak kewalahan mengatur laju bus sebab jalanan tampak menurun tajam dan berbatu.
          “Pegangan ya!” teriak bang Agos. Semua tampak mengikuti komando bang Agos. Demikian juga aku yang mulai pasrah mengaitkan lenganku pada tas ransel Doyok..
          “Aaaaaaaakh….” Teriak semua penumpang bus yang memang kebanyakan perempuan, bus masih oleng kiri dan kanan hingga membuat teriakan itu kian memekik telinga. Aku jadi khawatir seketika mendapati raut kepanikan pada wajah bang Agos.
“Gawat” desisku.
Jalan masih menurun bahkan kian menajam, bus oleng ke kiri dan kanan makin tak terkendali, semua penumpang dibuat panik seketika kami sadar turunan tajam ini berakhir dengan tikungan tajam yang di sisi kiri tikungan tersebut ada aliran sungai.

“Ya Allah. Gimana Yok” tanyaku cemas pada Doyok. Belum sempat Doyok menjawab kecemasanku, tiba-tiba bang Agos mengerem mendadak hingga mengakibatkan kami terpental ke bagian depan bus. Badan kami saling terhimpit. Bus kembali oleng ke kiri kemudian ke kanan tajam. Dan…
Braak!!!
Kini ntah apa yang terjadi. Bus sepertinya menabrak sesuatu sedangkan kami masih saling berhimpitan badan satu sama lain disebabkan posisi badan bus yang miring. Akhirnya, bus berhasil dihentikan. Sentak seisi bus berebut turun, takut jika bus kembali oleng atau bahkan terguling.

“Enggak ada yang luka kan?” Tanya bang Agos begitu ia turun. Semua yang mendengar bang Agospun menjawab dengan gelengan.
“Syukurlah…” ucapnya, lalu mulai memperhatikan kondisi bus yang kini sisi kanannya agak  penyok sebab menghantam sebuah pohon sawit.
Ku lirik jam tanganku, jarum jam menunjuk arah jam tujuh lewat 15 menit. Berarti 15 .menit lagi gerbang sekolah pasti sudah ditutup. Aku mulai gusar.
“Nanti kalian numpang mobil truk aja ya” ucap bang Agos. Aku, Doyok dan lainnya saling berpandangan. Tapi tiba-tiba bang Agos lari menuju jalanan dan langsung menyetop sebuah truk. Tanpa dapat menolak kami semua langsung naik ke atas truk meski bersusah payah sebab kami memakai rok.

Aku tersenyum-senyum sambil memandangi Intan, Doyok serta Arif ketika telah ada di dalam bak truk yang bau, kotor dan berpasir itu. Rasanya lucu dan sedikit memalukan jika kami turun tepat di depan gerbang sekolah dengan keadaan naik truk seperti ini. Tapi truk ini telah menjadi penolong bagi kami yang mungkin saja jika tidak ada truk ini kami tidak akan jadi ke sekolah. Dan mungkin apa yang ku pikirkan sama dengan semua teman-temanku itu. He he he.

Meski kotor ternyata laju truk sangat memastikan kalo kami tak akan terlambat sampai ke sekolah. Syukurlah, pikirku.

Beberapa menit telah berjalan dan truk masih terasa aman-aman saja. Truk melaju memasuki perumahan warga Rimo, kira-kira 1 kilometer lagi kami akan sampai di sekolah tercinta. Tapi…. Akhirnya, kembali keadaan ini tak berlangsung lama.

Priiiiiiit…
Terdengar suara peluit cukup melengking dari arah depan. Wajah dan kepala ku longokkan ke depan truk, dan ku dapati  seorang pak polisi dengan pakaian lengkap plus peluit yang masih lengket di bibirnya tampak mengacungkan telapak tangannya tanda menyetop truk. Singkat cerita ternyata truk ini ditilang dengan alasan truk tidak boleh masuk jalan tol. Aihh…. Bakal tambah alot perjuangn kami sampai ke sekolah, pikirku dalam hati.

“Beneran apes nasib kita hari ini” ucapku perlahan sambil turun dari bak truk. Ku pandangi para pak polisi yang memajang raga di tepi jalan itu, tapi ada juga yang duduk tegap di pos penjagaan di sebrang jalan. Hhhh… gerutuku. Tega amat!!
Semuanya telah turun, berjalan tanpa arah dan berpencar, ada yang duduk di bawah pepohonan kayu manis yang berjejer rapi di tepi jalan, ada yang berdiri menyandarkan tubuhnya pada pagar pelindung pogon kayu manis, ada yang hanya tertawa-tawa dengan temannya, dan ada juga yang tampak murung termasuk aku. Sebab mengingat hari ini hari senin, pasti upacara bendera telah dimulai sebab jam tanganku menunjuk pukul 8 kurang 5 menit.
“Huft!!”
Semua tampak terasa sepi, tak tau apa yang hendak dilakukan kami hanya menunggu waktu berjalan tanpa ada rencana pasti. Kecemasan mulai melanda, pasti gerbang sekolah telah ditutup. Apa kami masih bisa masuk ya… hiks hiks, setelah perjuangan panjang kami hingga akhirnya bus penyok, masak kami tidak sampai di sekolah. Sayang sekali dong…
Hamper 15 menit berlalu…
Di tengah-tengah kegundahan kami, perlahan ku dengar suara laju ban mobil yang tidak asing di telingaku. Suara itu diiringi suara riuh besi-besi kecil yang saling berserempet menyebabkan gigiku ngilu. Mataku mencari-cari asal suara itu. Dan ternyata…
“Bus!! itukan bus kita!” teriakku menunjuk jauh ke arah kananku. Seketika semua pandangan teman-teman terarah pada benda yang aku tunjuk itu.
“Horeeeee…” teriak kami berbarengan begitu senang. Semuanyapun berbenah tas, baju dan sepatu, lalu berjalan mendekati tepi jalan sambil melambaikan tangan tak sabar ingin naik.
Tanpa dikomando, begitu bang Agos menghentikan laju ban bus kamipun langsung naik. Tanpa basa-basi bang Agos menjelaskan bahwa ternyata bang Agos masih menyimpan ban serep.
“Abang pumpa aja, tros balap-balap ngejar kalian” jelasnya. Meski sedikit lega tapi tetap saja masih ada kekhawatiran kalo-kalo ban pecah lagi. Semoga saja tidak.

Dari kejauhan kini mulai tampak deretan atap berwarna hijau lumut, itu atap bangunan sekolah SMA N 1 Gunung Meriah. Kami hampir sampai. Namun, tanpa dipungkiri, ada perasaan tidak enak di hati kami. Bus seolah sedikit oleng. Jangan-jangan…
Bang Agos mungkin merasakan hal yang sama hingga memacu sedikit lebih cepat laju bus. Hingga tinggal beberapa meter lagi kami sampai tepat di depan gerbang sekolah. Tampak semua murid telah berbaris rapi tak terkecuali para dewan guru. Begitu bus kami sampai, semua mata seolah memandang ke arah kedatangan kami. Dan tiba-tiba, DUARRR!!
Ban pecah lagi!! Semua terkejut. Kami langsung turun dan berlari menjauhi bus. bus oleng ke kanan yang kebetulan tanahnya memang agak miring ke kanan, dan…

Brukk!! Bus terguling.
          “Ya Allah… selamatkan bus kami” ucapku. Kami, penumpang bus tak lantas masuk gerbang dan ikut berbaris bersama warga SMA N1 Gunung Meriah lainnya. Aku meletakkan tasku di dekat pagar gerbang. Lalu ku dekati Doyok dan berbisik…

Doyok mengangguk, lalu ikut melapas tasnya. Yang lain ku dapati mulai mengerti apa yang harus kami lakukan. Dengan tidak merasa takut sedikitpun, kami menempelkan tangan-tangan kecil kami ke badan bus yang kini peyot parah. Bang Agos serta beberapa warga yang mendapati keberanian kamipun ikut memberi bantuan. Satpam sekolah, serta beberapa dewan guru dan anak-anak Osis yang berjaga di dekat gerbangpun keluar gerbang dan ikut membantu juga. Aku tersenyum.

          “Satu, dua, tigaaaa!!” komando bang Agos.
          Mengingat badan bus yang sangat besar dan berat, tenaga kami tak cukup kuat membuat bus kembali berdiri. Hhhh…

          Sentak, pandanganku terarah pada anak-anak SMA yang masih berdiri mematung hanya memandangi kami. Begitupun semua orang yang ikut membantu mencoba membenarkan posisi bus kini mencoba memberi isyarat bahwa kami butuh bantuan mereka. Dan, alhamdulillah tanpa banyak membuang waktu hampir semua anak-anak SMA berlari ke arah kami, tak perduli meski sebagian dewan guru yang masih berdiri di lapangan upacara marah-marah mereka tetap berlari antusias memberi bantuan.
          Hampir ratusan tangan-tangan murid putih abu-abu menempel di tubuh bus kesayangan kami. Dan…
          “Satu… Dua… Tigaaaa!!!”
          “Prok prok prok prok…” suara tepuk tangan seolah baru menyaksikan Taufik Hidayat menang di lapangan hijau bermain badminton. Aku dan teman-teman seperjuangankupun sangat gembira. Tak sedikit juga yang terharu melihat keadaan bus kami ini sebab kini penyok ada di mana-mana. Kasian bus kami…

          “Tata tertib upacara bendera hari senin tanggal….” Suara pembaca tata tertib upacara tampak mulai bergema di sekeliling komplek sekolah,membuyarkan konsentrasi kami pada bus yang kini telah berdirimeski tak lagi utuh keadaannya. Kami berlarian masuk ke dalam komplek. Berbaris dan menata diri sebaik mungkin agar upacara berlangsung dengan lancar.

          Aku berdiri di dekat Intan, sedangkan Doyok dan Arif berdiri berdampingan di pojok belakang barisan. Hingga upacara selesai, aku dan mungkin ke tiga sahabatku itu masih terus memikirkan bus kami yang masih nonggok di tepi jalan sekolah. Bus kami memang paling oke! Sudah penyok, ban pecah dua kali, bahkan terguling tapi tetap saja bus itu tak bisa tergantikan dengan bus baru sebab mungkin sebagian besar teman-teman kami sedesa-Sidorejo-hampir 3 tahun berangkat dan pulang sekolah dengan ‘numpang’ bus itu, hingga banyak juga yang telah lulus. Tak tergambarkanlah gimana jasa-jasanya Cek ileee… dah kayak pahlawan ajja!! He he he.

Huft… Semoga bus kami tercinta itu cepat diperbaiki hingga kami bisa pulang sekolah tanpa jalan kaki nanti… amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar