Jumat, 12 Agustus 2011

Ketika aku dihadapkan pada Bunda (part 1)


Ku pandangi foto yang terpasang apik ditengah dinding kamar kosku. Ada wajah Bunda di sana, juga kedua adik perempuanku. Tampak raut kabahagiaan pada senyum mereka, da perempuan-perempuan yang teramat aku cintai itu begitu cantiknya berpose dengan menganakan jilbab yang warnanya senada. Yah, itu foto saat lebaran 2 tahun lalu.

Ku pandang lekat wajah Bunda… sungguh aku merindukannya, begitupun kedua adikku.
Tiba-tiba sebuah lagu terdering dari Hpku, tanda ada panggilan masuk.
“Assalamu’alaikum…” salamku mendahului. 

“Kom salam” jawab seorang di sebrang sana enteng, nada suaranya tinggi. Ah… Bunda pastinya. Meski ada kerinduan, tapi aku merasa belum mendapati cukup kehangatan dari semua sikap-sikap Bunda, kepadaku pun adik-adikku.
“Kamu kapan pulang Na?” Tanya Bunda to the point.
“Insya Allah minggu depan Bun, masih ada acara syukuran sekalian perpisahan sama temen-temen kampus. Bunda mau Husna bawain ole-ole apa Bun?”

“Sudah, kamu cepet pulang saja Bunda dah seneng” jawabnya lagi singkat.
“Iya Bun, insya Alah begitu selesai syukuran Husna langsung pulang” jawabku kemudian, membuatnya ia tenang.
“Ya sudah kalo gitu” tut … tut… tut… suara Hpku kemudian. Aku mendengus sedikit kesal. Tak ada salam… pikirku.

Memang, aku mungkin sedikit keterlaluan. Di saat ada libur kuliyah seminggu, dua minggu bahkan sebulan, tak ada yang ku manfaatkan untuk pulang. Bukannya aku tak ingat akan Bunda dan kedua adikku yang sejak 4 tahun lalu ku tinggal dan hidup hanya bertiga, tapi lebih karena aku tak ingin membebani Bunda dengan ongkos pulang pergiku dari Aceh ke Jakarta-yang jika dhitung nyatanya hampir sama dengan biaya kuliyahku sesemester. Meskipun Bunda pernah bilang ia masih sanggup mengeluarkan angkos itu kalo aku mau pulang bahkan setahun dua kali.
Dan memang, kecukupan keluargaku akan ekonomi sejak di tinggal Ayah menikah lagi-membuat Bunda sombong. Membuat ia begitu takabbur.  

“Tanpa Ayahpun Bunda sanggup cari uang untuk kalian” sering ia melontarkan kata-kata itus.
Bunda… Aku sangat mengkhawatirkannya, sebab makin hari makin menjadi saja semua pemahamannya-yang ku rasa sangatlah salah.
Pernah aku adu ucapan dengannya, hingga bukan karena kalah aku terpojok-tapi akulah yang mengalah.
“Jangan pernah temui lagi Ayahmu! Uang Bunda masih cukup untuk nguliahin kamu samapi S3!” ucapnya marah ketika tahu aku menjenguk Ayah yang tengah sakit parah sepulang kuliyah-3 tahun lalu. Saat itu Ayah di rawat di sebuah rumah sakit di Jakarta.

“Na hanya menjenguk Bun…” jawabku membela diri.
“apa tidak bisa menghargai perasaan Bunda? Ayah sudah punya istri baru, apa kamu mau jadi anak-anak istrinya?!” bentaknya lagi.
“Bunda teralu berlebihan. Na cuma mau bersilaturrahmi Bun”
Aku terdiam kemudian, sebab Bunda menutup panggilannya dengan begitu saja. Aku tak bisa meredam amarah Bunda pun jika aku memberi pengertian Bunda akan tetap mengutamakan pemikirannya. Lalu ku kirimi ia sebuah pesan, aku meminta maafnya. Tapi tak ada balasan.

Yah… Bunda begitu keras mendidik anak-anaknya, bahkan dulu semasih ia bersama Ayah. Bunda dan Ayah berpisah sejak aku SMP dan kedua adikku kelas 1 dan 2 SD. Bunda terlalu bersikeras tidak ingin meninggalkan pekerjaan tetapnya kemudian pergi tinggal bersama Ayah di kampung halamannya. Co general manager  di sebuah Bank swasta di Aceh yang disandang Bunda membuatnya buta, hingga meremehkan semuanya-termasuk suaminya. Ayah bilang, ia awalnya sabar dengan semua sikap keras Bunda, ia bertanggung jawab untuk membuat Bunda sadar diri dengan kesombongan-kesombongannya. Tapi kian hari Bunda kian keras saja. 

“Aku yang selama ini membiayai hidup keluarga, di sini juga sudah bisa dapat uang banyak. Kalo mau ya puang saja sendiri” itu jawaban Bunda yang Ayah katakan ketika Ayah dengan baik-baik membujuknya ikut ke kampung Ayah. Saat itu mertua Bunda-nenekku-sakit keras, dan meminta Ayah beserta kami pindah ke sana. Karena juga banyak ladang yang harus di teruskan pengerjaannya.
Tapi Bunda tetap tidak mau, karena pekerjaan itu lebih penting di banding apapun baginya. Akhirnya Ayah pulang sendiri, dan sebab Ayahadalah ayah yang bertanggung jawab, iapun selama setahun mondar-mandir Aceh-Lampung hampir puluhan kali demi menemani kami dan menjenguk nenekku.
Selama itu Ayah terus membujuk Bunda untuk mau meninggalkan perkerjaannya dan ikut bersama Ayah. Toh Ayah juga punya penghasilan tetap di sana. Bunda tetap  pada pendiriannya, hingga dua tahun kemudian mereka memutuskan untuk berpisah.

Ku sesali keputusan mereka itu… terlebih pada sikap Bunda.
Kembali ku pandangi foto kiriman lewat email Nisa-adik pertamaku-saat lebaran 2 tahun lalu. Tak terasa telah 2 tahun aku tak pulang ke kampung halaman. Selama kuliyah di Universitas Indonesia seingatku aku hanya pulang satu kali, itupun karena Bunda sakit dan bertepatan dengan libur semesteranku.
Bagaimana perkembangan adik-adikku saat hanya Bunda yang mendampingi mereka? Pikirku.
“Astakhfirullah…” sesalku yang terlalu  su’uzon pada Bunda.
***

“Bundaa… kak Husna sudah sampe” ucap adik bungsuku saat melihatku menenteng koper besar, berdiri mematung di pintu masuk rumah megah kami. Tak ada perubahan yang berarti dari rumahku, hanya tampak tambahan pagar jeruji tinggi melingkari taman bunga di halaman rumah. Adik pertamakupun keluar-berlari dari kamarnya menyapaku.

Ku peluk mereka satu persatu. Ada haru yang ku tahan.
“Jilbabnya bagus kak” komentar adik pertamaku, sedang si bungsu mengangguk sambil merangkul lenganku. Aku tersenyum lepas, begitu bahagia melihat mereka.
Lalu tampak sosok Bunda keluar dari dapur, begitu tergopoh-gopoh sebab baju kebaya warna emas nya yang begitu ngepas di tubuh- mewahnya tampak begitu berlebihan. Berpadu dengan dompet tangan yang warnanya sepadan. Gelungan rambutnya jua tampak begitu berkilau sebab riasannya penuh dengan bunga-bunga kilat warna emas. 

Senyumku sedikit turun.
Ia telah di hadapku, ku cium tangan serta pipinya. Bunda pun membalas, lalu memelukku meski sekejap. Air mataku tumpah perlahan. Ada rasa rindu yang terobati, tapi jua rasasesal mendapati Bunda masih seperti Bundaku dulu.

“Bunda mau ke mana?” tanyaku di ruang makan saat kami makan bersama.
“Itu, Buk Mimi mau nganter manten”
“Siapa yang nikah Bun?” tanyakku.
“Anak pertamanya, Ardi. Masak kamu lupa. Anak laki-lakinyakan cuma dia” ku anggukkan kepalaku mengingatnya.
Kemudian sejenak ku pandangi Bunda. Lihatlah… Masih seperti dulu, tidak ada yang berubah. Satupun tak ada yang berubah.

“Apa pakaian Bunda gk berlebihan Bun…” tegurku sedikit takut. Sentak ia memandangku. Di letakkannya sendok makannya. Kedua adikku mengarahkan pandangannya jua padaku.
“Kenapa? Biar saja, Bunda yakin cuma Bunda yang pakaiannya kebaya gini. Yang lain paling juga cuma kebaya biasa. Sekali-sekali boleh dong pamer” jawabnya panjang. Membuat tak ada lagi kata-kata yang harus  ku ucapkan. Ini bukan kali pertama, sebab aku paham Bunda memang seperti ini sejak dulu. Harus jadi yang paling baik, yang paling hebat, yang paling… ahhh
“Astakhfirullah…” ucapku dalam hati.
***

“Sudah punya pacar belum Na? Tanya Bunda saat kami tengah menonton tv di ruang tengah. Kedua adikku yang sedari tadi serius dengan tvnya, kini berubah arah menghadapku. Mereka tersenyum dan menatap tajam padaku.
“Na gk membenarkan pacaran Bun…” jawabku ingin jua memberi pengertian pada kedua adikku itu.
“Loh kok gitu?” jawab Bunda bingung.
“Iya, bahkan Islam sendiri menganjurkan kita untuk menjauhinya.”
“Ah kamu ini, makin kaku saja Na. Liat tuh jilbabmu, di dalam rumah saja masih selebar itu.” Jawab Bunda yang tak lagi mengagetkanku. Kedua adikku melihat ke arah Bunda pun aku bergantian. Aku tersenyum geli.

“Tidak Bun, ini juga masih dikategorikan kerudung.” jawabku sambil membenahi jilbab kecilku yang hanya sebatas dada itu.
“Loh apa bedanya kerudung sama jilbab kak?” Tanya Leha-adik keduaku.
“Ya beda dong, kalo kerudung itu kayak yang kakak pake ini contohnya. Sekedar menutupi kepala. Tapi kalu jilbab itu kayak pakiaknya mbak Ulya.” Jawabku mencontohkan gamis serta jilbab lebar nan panjang menjulur melebihi dada yang dikenakan mbak Ulya, tetangga sebrang rumah kami.
“Wah.. lebar ya kak” komentar Nisa.

“He em. Tapi cantik kak, mbak Ulya aja cantik banget” tambah Leha.
“Kakak kok gk kayak mbak Ulya jilbabnya?” Tanya Nisa. Aku tersenyum lagi.
“Itu sih namanya mau jadi orang arab.” Jawab Bunda lagi. Aku kecut, terlebih pada komentar Bunda yang seakan mematahkan antusiasme kedua adikku.
“Kakak punya kok, tapi kalo keluar rumah aja kakak pakai. Kan di rumah kita semuanya perempuan, mahramnya kakak.” Jawabku.
“Apa itu mahram kak?” Tanya Leha tak tahu. Aku tersenyum makin semangat.
“Mahram itu orang yang berhak atau boleh melihat aurat kita. Misalnya Bunda, kak Nisa, dan Leha. Kalian mahramnya kakak.”

“Kalo yang bukan mahram kakak siapa?” tanyanya lagi. Leha memang kritis, sama seperti  Nisa. Bedanya, Leha selalu lebih cepat menyambar pertanyaan-pertanyaan yang mungkinpun Nisa pikirkan. 
“Gantian dong nanyanya.” Komentar Nisa.
“Itu bukannya disebut muhrim ya kak?” Tanya Nisa memotong.
“Muhrim itu adalah orang yang sedang berihram dalam haji. Selama ini memang disebut muhrim, tapi yang lebih tepatnya itu mahram dek” jawabku. Mereka angguk-angguk saja sedari tadi.
“Mau dong liat baju jilbab kakak, bagus gk kak?” Tanya Nisa.

“Lah ini gimana toh, Bunda mau nanyak masalah pacar kok maah jilbab yang dibahas.” Ucap Bunda kalah, merasa diacuhkan. Aku tertawa kecil-geli.
“Ya sudah sana liat sendiri di lemari kakak” ucapku pada kedua adikku. Merekapun berebut mendahului masuk ke kamarku. Sedang aku mencoba menyeriusi obrolan Bunda.
“Memangnya knapa Bun? Kok Tanya masalah pacar?” tanyaku memulai.
“Kamu kan sudah tamat, Bunda niat mau menjodohkan kamu.” Jawab Bunda main langsung-langsung saja.

“Menjodohkan? Ah Bunda ini aneh-aneh saja. Kayak masih di jaman Siti Nurbaya saja Bun.” Jawabku.
“Siapa Bun?” tambahku penasaran juga.
“Ya dari pada nanti kamu milih yang gk bener… ya sudah, pokoknya nanti malam dia datang, kamu siap-siap saja pake baju yang bagus. Sedikit modis gitu, kalo pake jilbab jangan panjang-panjang. Nanti gk laku ” Jawab Bunda kemudian beranjak ke dapur.
“Astakhfirullah…” desisku.

Ya Allah… aku tak ingin terus bersu’udjan pada Bunda… bagaimana cara untuk membuatnya tidak seburuk ini… doaku hanya untuk kebaikannya ya Allah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar