Minggu, 25 September 2011

Muridku, berkebutuhan khusus...


Bismillahirrahmanirrahiim, sebenarnya aku bingung. Tulisan ini termasuk apa, cerpen atau hanya curhatan saja. Kalaulah cerpen, ini bukan sebuah kisah fiksi. Tapi kalau hanya berupa curhatan, ku rasa kisah ini juga terasa sangat luar biasa untuk ditulis. Tapi yang pasti ini ku tulis dengan bahasaku sendiri serta tidak dengan mengada-ngada, kisah ini ku tulis dengan apa adanya...
***
Semua berawal pada hari pertama aku masuk ke kelas 7.1 (SMP kelas 1), di SMP Nurul Islam Indonesia yang beralamat di jl. Megawati (jl. Halat Ujung). Jumlah keseluruham murid kurang lebih 51 murid, melebihi kapasitas standart memang, itulah sebabnya murid-muirid di SMP NII ini sedikit susah di management, menurutku.
Dibanding siswa kelas 7 lain, kelas 7.1 bisa dikatakan sebagai kelas yang paling banyak ‘menyimpan’ anak-anak pinter. Mereka lebih cepat tanggap, cenderung lebih antusias, banyak tanya, dan alhamdulillah lumayan lebih mudah diatur. Dan alhamdulillah juga menit-menit awal ditatap muka pertamaku hari itu semua berjalan dengan lancar, tanpa kegaduhan-kegaduhan yang berarti. Kegiatan beajar mengajarku ini ku anggap sudah mantap (alhasil ini kali permata aku ngajar, jadi guru sungguhan, di sekolah yang resmi pula), hingga kemudian semuanya mulai terganggu saat terdengar kegaduhan kecil di baris bangku kedua paling belakang.
“Miss, ada yang nangis Miss...” sela salah seorang siswi ketika melihatku mulai menancapkan mata pada keributan mereka di belakang.
“Siapa?” tanyaku.
“Iska Miss” jawab beberapa muridku seirama. Ku langkahkan kaki berhakku mendekati Iska, siswi  yang menangis itu.

Setelah hanya dua jengkal jarak kami, aku terkesima. Jujur, belum pernah aku mendapati seorang anak sanggup menangis tanpa mengeluarkan isak tangis seperti Iska waktu itu. Tanda ia menangis hanya matanya yang berair serta hidung dan kelopak matanya yang memerah. Ku dudukkan tubuhku di hadapnya.
“Iska kenapa nak?” tanyaku lembut. Tak ada yang ku dengar, ia hanya terus menagis tanpa suara.
“Iska... Iska knapa nangis? Ada yang sakit ya?” tanyaku lagi. Kali ini ku coba mengenggam pelan bahu kirinya. Berharap ia mau melepas kedua telapak tangannya dari wajahnya yang memerah. Tapi ia masih diam, kini justru menundukkan wajahnya dan menyembunyikannya di kedua kengan tangann yang ditekuk ke sisi meja belajarnya.
“Gk bisa ngomong dia Miss...” ucap murid perempuan yang duduk di sebelahku.
“Astakhfirullah...” desahku dalam hati. Dahiku mengerut sedikit bingung. Tak mungkin ku tanyakan mengapa ia ‘tidak bisa ngomong’ seperti yang dikatakan murid disebelahku tadi. Tapi sebenarnyapun aku kurang paham dengan maksud ‘tidak bisa ngomong’ nya itu.
Ku pertajam pandanganku pada murid tadi, berharap ia menangkap kebingunganku.
“Iya Miss, dari pertama masuk dia gk mau ngomong. Kalo kami tanya juga dia gk mau jawab Miss, cuma geleng-geleng sama angguk-angguk aja” sela siswi yang lain. Aku kian bingung, apa ia bisu? Ah, itu tidak mungkin. Murid dengan keterbatasan sepertti itu pasti tidak akan diterima di sekolah ini, pikirku.
“Eh ada kok... kemaren aja dia mau ngasih makanannya” serobot siswi yang lain lagi.
“Ngomong apa Iska nak?” tanyaku perlahan.
“Ya bilang ‘mau?’ gitu Miss” jawabnya singkat. Alhamdulillah, berarti dugaan ‘bisu’ ku tadi salah.
“Iska... knapa Iska nangis? kita gk akan bisa melanjutkan pelajaran kalau Iska masih nangis. Ada yang sakit nak? Atau ada yang jahat tadi, iya??” tanyaku melempar pandang pada siswa-siswi di sekitarku.
“Gk Miss...” jawab mereka bebarengan. Dia masih diam, kini menaikkan wajahnya kembali tapi kemudian menyandarkan kepalanya ke dinding sambil mengusap-ngusap wajah merahnya. Sudah seperti anak tersesat yang pasrah karena berpisah dengan orang tuanya saja cara duduknya itu, hehehe
“Iska...” bujukku lagi dengan lembut. Tapi nihil, tak satupun kata keluar dari mulutnya. Yah, aku mulai menyerah.
“Ya udah, jangan ngais lagi ya. Kita lanjutkan pelajarannya sedikit lagi. Setelah itu kita bisa istirahat. Yang lain jangan ada yang buat Iska nangis lagi ya...”
“Iya Miss...” jawab mereka.
Beberapa menit kemudian, aku masih memperhatikan muridku yang satu itu. Nyatanya kudapati  ia adalah seorang kidal. Ia menulis dengan tangan kirinya, memegang penghapus pensil dan memegang sapu tangan kremnya juga dengan tangan kirinya. Aku tersenyum kecil.
“Iska sudah paham nak?” tanyaku mendekatinya kemudian. Ku tatap mata serta seluruh bahasa tubuhnya, dan tentu buku tulisnya. Ku perhatikan dengan seksama. Dan...
What!!!
Betapa terkejutnya aku, setelah satu jam lebih aku mengoceh-menjelaskan semua yang ku tulis di papan tulis, nyatanya aku tidak emndapati satu katapun yang ia salin ke buku catatannya itu.
Hampir marah aku dibuatnya. Ku tarik perahan buku kosongnya itu untuk memastikan.
“Kok Iska gk nulis nak?” tanyaku saat mendapati benar bahwa bukunya masih kosong-sambil membungkukkan sedikit tubuhku ke arahnya. Ia diam.
“Iska... Mia aja catatannya  udah banyak. Iska kok belum nulis yang di papan tulis?” tanyaku kedua kali, membandingkan dengan teman sebangkunya. Ia masih diam. Aku dan Mia berpandangan beberapa kali.
“Dia gk mau ngomong Miss, sama Mia aja jarang mau ngomong” ucap Mia. Ya Allah, dia-Iska-malah kembali menampakkan gelagat tidak wajar bagiku. Digosok-gosokkannya rol yang tengah ia genggam dengan tangan kirinya ke meja belajarnya.
“Iska...” bujukku lagi sambil menarik rolnya, berharap ia mau mengeluarkan sepatah kata kali ini. Tapi apa, ia justru mengeluarkan sapu tangan kremnya dari saku, mengusap-usapkannya pada kedua lubang hidungnya. Dan lihatlah, kini kedua sisi pipi dekat hidungnya sudah penuh dengan ‘air’. Uhh... awalnya aku sedikit enggan untuk kembali membungkukkan tubuhku untuk mendapati mata dan pandangannya. Tapi, mau tidak mau, itu harus ku lakukan.
“Iska kok gk nulis nak? Dari tadi Miss nanya kok gk dijawab nak? Iska...” tanyaku beruntun, ia masih tetap ‘menjawab’ dengan memainkan sapu tangannya itu ke pipi-pipinya. Sesekali ia menatapku, tapi tatapannya kosong. Tak seperti yang lain. Ada yang aneh menurutku.
Kemudian bel berdering dua kali, tanda istirahat... Aku pun menyudahi, mengucap salam lalu menutup pertemuan pertamaku itu.
***
Jam baru menunjuk pukul 11 siang tapi perutku sedikit keroncongan, karena sarapan mini porsiku tadi pagi mungkin. Maka itu membuatku aku melangkahkan kaki menuju kantin di belakang gedung sekolah.
“Aku ke kantin dulu ya buk” pamitku pada beberapa teman seprofesiku. Mereka tersenyum.
Mulai ku turuni undakan tangga di lantai dua itu, perlahan, sebab banyaknya siswa SMP yang juga naik turun.
“Miss...” tegur beberapa dari mereka, aku tersenyum membalasnya.
“Mia...” sapaku pada murid kelas 7.1 itu saat ia hampir menabrakku dari arah kelasnya.
“Eh Miss...” jawabnya.
“Mau kemana Mia? Kantin?” tanyaku.
“Iya Miss” jawabnya, aku tersenyum.
“Miss, itu Iska Miss...” ucapnya menunjuk Iska yang nampak dari kejauhan, ia tengah menempelkan jengkal-jengkal telapak tangannya ke dinding luar kelasnya, sambil melekatkan pandangannya dalam-dalam ke telapak-telapak tangannya itu. Dahiku mengerut.
“Knapa Iska nak?” tanyaku pada Mia-yang mungkin ingin memberitahukan ketidakwajaran itu padaku.
“Gk tau Miss, dari tadi dia kayak ngukur-ngukur gitu Miss” jawabnya.
“Ngukur?” pikirku bingung, kemudian memutar langkah menuju Iska. Mia pun mengekor.
“Iska lagi ngapa nak?” tanyaku memengang perlahan lengan kanannya seketika aku telah di dekatnya. Dia-Iska-masih belum ku dapati mengeluarkan sepatah katapun untukku.
“Ya’ ampun, gimana sih cara ngadepin anak ini” desahku dalam hati. Setelah bebrapa kali ku tanya, ia jua masih tetap diam.
“Iska gk beli jajan??” tanyaku lagi, kian dekat wajahku dihadapannya.
 Ia menggeleng!!! Yah, ini kali pertama ia merespon meski tidak dengan kata-kata.
“Knapa?” tanyaku kemudian.
....
Ia kembali tak merespon.
“Jajan yok sama Miss...” ajakku. Ia kembali menggeleng-untuk kedua kalinya.
“Iska bawa bekal ya?” pertanyaan-pertaan ku itu ku ajukan hanya berharap agar ia mau merespon setidaknya dengan kata ‘tidak’ atau ‘iya’ dari mulutnya. Jadi aku bisa memastikan ia benar bisu atau tidak. Tapi semua usahaku belum membuahkan hasil. meskipun begitu, aku sedikit merasa lega melihat anggukan atau gelengan-gelengan kepalanya, itu artinya ia bisa diajak berinteraksi-pun walau hanya dengan angguk-angguk atau geleng-geleng.
“Ya udah... Miss ke kantin dulu ya. Iska jangan main di sini, masuk ke kelas aja ya” pintaku melihat ia memang sendirian di sana.
***
Seminggu kemudian, aku kembali masuk ke kelas 7.1...
“Riska Khairani...” panggilku mengecek kehadiran murid-muridku.
“Pindah Miss...” jawab Dandy-sang ketua kelas.
“Pindah? Kmana nak?” tanyaku. Inikan awal tahun ajaran baru, kok pindah secepat itu?? Pikirku.
“Ke kelas 7.3 Miss...” jawab beberapa murid lelaki bebarengan.
“Knapa dipindah nak? Siapa yang mindahin?”
“Bapak Wakasek Miss, gk cuma dia Miss. Andre sama Yogi juga.” Lanjutnya.
 Oh, pemerataan jumlah siswa perkelas mungkin, pikirku.
Tapi, aku mulai sedikit gusar. Pasalnya di kelas 7.3 itu ada dua siswa yang sangat bandel dan sering menjahili temannya. Farhan dan Rizki. Satu diantara mereka memang pernah tidak naik kelas.
Benar dugaanku, sehari kemudian- ditengah jam istirahat-ku dapati Iska tengah terisak di bangku terdepan deret ke dua dari pintu masuk di kelas barunya itu. Aku sengaja menyempatkan diri  melongokkan kepalaku ke dalam kelas hendak melihat Iska, dan kekhawatiranku itu ternyata beralasan.
“Iska knapa?” tanyaku seraya melangkah masuk.
“Diejek Farhan Miss...” jawab murid-murid perempuan. Mataku mencari-cari Farhan.
“Farhan! Kamu ejek apa tadi Iska??” suaraku meninggi.
“Bisu katanya Miss...” jawab siswa yang lain menimpali.
“Orang memang dia diem aja kok Miss” bela Rizki.
“Idiotnya dia itu” tambah Rizki lagi dengan suara mengecil. Terkejut aku mendengarnya. Langsung saja ku tarik tubuh mereka berdua ke depan kelas.
“Apa tadi kamu bilang?!” tanyaku mengeratkan genggamanku pada lengan kiri Rizki.
“Gk Miss...” jawabnya takut-sebab melihat aku molotot sambil mengenggam erat lengan kananya.
“Kamu Farhan? Knapa mengejek? ?” ku alihkan mata melototku pada Farhan kemudian.
“Gk Miss, dia kalo ditanya gk mau jawab Miss” jawabnya.
“Trus, apa kamu tau kalau dia benar-benar tidak bisa ngomong?” tanyaku. Iska masih menangis kecil. Farhan diam, sedang Rizki merasa lengannya kian kesakitan.
“Miss, lepas Miss...” pinta Rizki.
“Yang lain ada lagi yang ganggu Iska gk?” tanyaku pada yang lain-tidak menghiraukan Rizki.
“Gk Miss...” jawab mereka serentak.
“Mulai hari ini, kalau ada yang buat Iska menangis, tolong lapor sama Miss. Jadi jangan ada lagi yang mengejek atau mengganggu Iska. Ngerti?”
“Ngerti Miss...”
***
Hari itu-tepatnya hari apa aku kurang ingat-aku datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Setelah mengeluarkan beberapa bangku dan meja piket, aku lantas duduk di sana-di depan ruang dewan guru, sendirian.
Beberapa siswa-siswi mulai tampak berdatangan. Kelas sebelah ruang dewan guru-kelas 9.3-pun telah kedatangan ‘penghuni’nya. Aku beranjak dari tempat dudukku,kemudian melangkah melihat-lihat kelas yang tampaknya belum di bersihkan (disapu).
Di sebelah ruang kelas 9.3 adalah ruang kelas 7.3, kemudian ruang kepala sekolah setelahnya. Ruang kelas 9.1 dan 9.2 tepat ada di sebrang ruang dewan guru-di lantai dua, sedang ruang kelas 7.1 dan 7.2 ada di lantai dasar.
Belum sempat aku masuk ke kelas 9.3-setelah sebelumnya aku masukke kelas 9.1 dan 9.2-Iska tampak keluar dari ruang 7.3. Aku terkejut, juga senang mendapati ia datang ke sekolah pagi-pagi sekali.
“Iska...” sapaku mendekatinya-yang mulai menyandarkan tubuhnya di dinding teras ruang kelasnya.
Ia  hanya melempar pandangan beberapa saat padaku, lalu melipat kedua lengannya di pagar pembatas teras itu dan kembali tak menghiraukanku.
“Iska berangkat jam berapa tadi? Kok cepet kali  datangnya?”ku cari-cari bahan pembicaraan, berharap ia menampakkan kemauan untuk berinteraksi denganku. Tapi ia hanya diam-seperti biasanya.
“Sama mama ya?” tebakku. Ia mengangguk!
“Hm... naik apa tadi?”
“Kereta?” lanjutku sendiri. Ia kembali mengangguk. Syukurlah, sudah dua pertanyaan yang ia jawab dengan anggukan. Berarti ia paham dengan yang ku tanyakan.
Aku hanya tersenyum, sambil mencoba kembali mencari bahan obrolan.
“Iska tadi sarapan kan?” tanyaku. Ia tak merespon. Ku tarik alisku sambil menajamkan pandanganku padanya-seolah bertanya untuk kedua kalinya. Ia mengangguk lagi!
“Pake apa tadi sarapannya?” lanjutku. Ia tak menjawab-tidak dengan anggukan atau gelengan. Tapi...
“Cabe” jawabnya. Aku terkejut bukan main. Ia telah mengeuarkan sepatah kata pertama padaku. Ini kemajuan. Tapi, knapa jawabannya ‘cabe’??
“Cabe??” tanyaku mengulang. Ia mengangguk.
“Cabe apa?” aku tak paham dengan maksud ‘cabe’nya itu, dan bertanya seperti inipun aku sendiri tak mengerti, ‘cabe apa’ yang ku maksudkan. Ia diam,dan aku bingung
“Diblender?” tanyaku.
“He em” jawabnya.
“Digoreng?” lanjutku lagi.
“He em” lanjutnya juga. Aku tersenyum geli. Hampir lepas tawa kecilku waktu itu.
“Itu namanya ‘sambal’ Iska...” ingin sekali ku ucap kata-kata itu. Tapi aku takut justru ia yang akan kebingungan.
“Iska  suka ‘cabe’ ya?” tanyaku.
“Suka” jawabnya. Aku kian tersenyum-senang mendapati ia melontarkan satu persatu yang ia pikirkan.
“Trus, Iska suka apa lagi?”
“Kuah” jawabnya. Hahaha... Iska-Iska, kamu ini kian membingungkan saja. Kuah apa maksudnya??
“Kuah?? Kuah apa?” tanyaku lagi.
“Indomie” jawabnya. Lalu masuk ke dalam kelas-tanpa pamit, dan bahkan ketika mengatakan ‘indomie’ pun ia tak menatapku. Sepertinya ia tak punya selera basa-basi. Hmmm... Tapi aku maklum.
^_^
Ini, jadi obrolan ‘empat mata’ pertamaku dengannya-Iska, si siswi yang ku tahu sedikit berbeda dengan yang lainnya.
***
“Sudah selesai??” tanyaku perlahan pada siswa-siswi 7.3 waktu itu-waktu aku mengajar mereka dua kali empat puluh lima menit pelajaran Bahasa Inggris, di minggu ketiga masa praktek lapanganku.
“Sudah Miss” jawab kebanyakan dari mereka. Ku lempar pandangan ke seluruh isi ruangan, pun pada siswiku yang satu itu-Iska.
Masih seperti minggu-minggu sebelumnya, ia belum juga mau menulis meski pulpennya telah ada di tangan kirinya.
“Iska gk nulis nak?” tanyaku seperti biasa. Ia tak merespon. Setahuku, ia hanya akan mau merespon banayk pertanyaaku ketika kami hanya berdua, tidak dengan kondisi seperti saat itu-ramai.
“Ya sudah, gk papa. Tapi nanti disalin ya...” pintaku. Ia masih diam.
Beberapa menit kemudian, aku memberi latihan pada siswa-siswiku itu. Ku tulis beberapa pertanyaan di papan tulis. Dan sebagian besar mereka menyelesaikan dengan sangat cepat.
“Yang sudah selesai bawa buku latihannya ke sini ya. Miss akan periksa langsung” ucapku.
Beberapa mulai mendatangiku dengan buku latihan mereka, dan...ku dapati Iska iska juga beranjak dari tempat duduknya.
“Ia bisa??” pikirku menebak. Tapi aku salah, ketika aku kemudian mendapati langkahnya yang tidak mendekatiku-melainkan justru mendekati papan tulis putih di samping kiriku.
Apa yang ia lakukan?? Aku mulai mengamati tingkahnya.
Lihat. Ia menempelkan buku catatannya di papan tulis itu. Lalu menarik pulpennya dan melekatkan tangan kiri beserta pulpennya tadi ke arah buku catatannya. Ia menulis hanya dengan jarak kurang dari 20cm tulisanku di hadapnya.
“Mengapa ia lakukan itu?” pikirku. Aku lalu menghampirinya.
“Iska kok nulisnya gitu?” tanyaku perlahan. Ia tak menjawab, dan masih menyalin semua tulisanku di hadapnya. Tulisannya cukup sangat besar ku lihat. Hampir dua kali tulisanku. Ia memanjang ke atas dan melebar ke samping. Dan hampir tak ada spasi yang memisahkan setiap kata yang ia tulis.
“Iska... nulisnya kok di sini? Gk nampak ya dari bangku Iska?” tanyaku memastikan.
Ia mengangguk, dan menatapku-masih dengan  tatapan kosongnya. Aku-mengingat semua tingkahnya selama ini-kian bingung.
“Ada apa sebenarnya denganmu Iska...” desisku dalam hati. Ada rasa empati juga haru yang ku tahan. Bukan aku berpikir negatif, tapi pastilah semua tingkahnya yang tidak wajar itu punya sebab. Dan aku benar-benar tidak tau apa sebabnya itu.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar