Kamis, 13 Oktober 2011

Ketika aku dihadapkan pada Bunda (Part 2)


“Na... si Doni gk jadi datang malam ini Na, harus ke luar kota ada keperluan mendadak katanya” jerit Bunda dari arah dapur, sedang aku tengah asik dengan laptopku di ruang tengah. Aku tak lantas menjawab,tak juga teralu ku ambil pusing.
“Katanya minggu depan baru bisa datang” lanjut Bunda lagi.
“Iya Bun...” jawabku seadanya. 

Tiba-tiba nada pesan hp ku berdering pelan.
Assalamu’alaikum... [1 pesan diterima]
Wa’alaikumussalam [pesan terkirim]
Benar ini Husna? [1 pesan diterima]
Iya. Maaf ini siapa? [pesan terkirim]
Maaf sebelumnya, ini Ardi. Masih ingat? [1 pesan diterima]
Ku balas 6 menit kemudian, Ardi? Sepertinya aku ingat.

Alhamdulillahmasih  ingat, apa kabar mas? [pesan terkirim]
Alhamdulillah baik, apa kabar juga Husna? Sudah ingat sama kampung ya?[1 pesan diterima]
Loh, memangnya Husna tidak ingat sama kampung sendiri mas? [pesan terkirim]
Ya selama ini kan tidak pernah gabung sama kegiatan pemuda-pemudi kampung lagi [1 pesan diterima]
Iya, maaf mas. Mungkin kemarin-kemarin masih belum sempat. Tapi insya Allah sudah ada waktu [pesan terkirim]
Alhamdulillah kalau begitu. Selamat bergabung kembali [1 pesan diterima]
Tak lagi ku balas pesannya, untuk awal ku rasa sudaha cukup. Terlalu banyak membalas juga tidak baik ku  pikir...

Ardi, pemuda setahun lebih tua dariku itu kini menjabat sebagai ketua pemuda-pemudi kampung. Dengar-dengar kuliyahnya dikorbankan demi mencari kerjaan tetap untuk membiayai kedua adik perempuannya sekolah. Ketika SMA dulu aku sering mendapatinya pulang pergi dengan berjalan kaki bersama teman-temannya, sedang aku pulang pergi dari jalan yang sama dengan menunggangi supra terbaru waktu itu.
Ardi, pemuda sederhana yang setahuku pengatahuan agamanya dalam, tanggung jawabnya besar, kerendahan hatinya tak terukur, dermawan, tapi, si pesimis tulen. Yah, untuk beberapa urusan pribadi dia itu tergolong pesimistis.

“Astakhfirullah...” knapa jadi memikirkan hal-hal tentangnya. Ku lanjutkan kemudian pekerjaanku tadi.
***
“Husna” sapa seorang dari arah belakang. Sepertinya suara lelaki. Aku menoleh.
“Iya” ucapku penasaran mencari-cari asal suara. Dia...
“Assalamu’alaikum” ucapnya lagi. Dia Ardi.
“Wa’alaikumussalam” jawabku sambil menempelkan kedua telapk tanganku lalu meletakkannyadi depan dada. Begitupun ia mengikuti. Lantas ku tundukkan pandanganku daam-dalam. Sesekali sedikitku naikkan tapitidak hingga menatapnya.

“Mau kemana Husna?” tanyanya ramah, di tariknya sedikit posisi berdirinya. Hingga kami berdampingan sejauh dua meter.
“Ini, mau beli gula” jawabku. Kemudian melangkahkan kakiku masuk ke dalammini market. Ia juga masuk.
“Mau beli apa, mas...” tanyaku canggung.
“Mau cari bola lampu, bolalampu rumah ada yang putus” jawabnya. Aku tersenyum menanggapi.
“Kapan pulang? Kok tau-tau sudah ada di kampung?” tanyanya lagi.
“Belum lama mas, baru dua minggu ini”

“Dua minggu kok belum lama” selanya tertawa kecil. Aku tertunduk malu. Di mini market itu lumayan banyak pembelinya, jadi ku jaga sikapku dengan selalu menjauhi Ardi. Takut-takut kalau ada yang salah paham.
“Ya sudah, saya kesana dulu ya. Selamat buat kelulusannya. Dan ditunggu kehadirannya ngisi pengajian remaja” ucapnya pamit. Kali ini ku arahkan matakupadanya sejenak, lalu menunduk lagi.
“Insya Allah” jawabku.
“Assalamu’aaikum” salamnya.
“Wa’alaikumussalam...”

Itu adalah kali pertama aku bertemu langsung dengannya setelah kepulanganku, dan seterusnya aku cukup sering bertemu tanpa sengaja dengannya. Ditambah sekarang ini aku mulai aktif menghadiri pengajian-pengajian remaja di kampung. Hmmm jadi terlalu seirng ketemu malah. Seminggu paling tidak kami akan bertemu dua kali. dan ini membuat kami terjebak pada  situasi yang sedikit tidak membuat kami nyaman.
Yah, kebanyakan anak-anak pengajian remaja itu-ntah sejak kapan-sering memasang-masangkan aku dengannya. Duh, jadi kian canggung saja aku ketika berhadapan dengannya.

“Kak, dicariin kak Ardi kak” kata seorang adik didikku. Ketika kami baru saja selesai mengadakan rapat pembentukan kepanitiaan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di mesjid sebelah rumah.
“Ciehhhh, kakak pacaran ya ma kak Ardi” sela temannya. Aku hanya tersenyum, sejak awal aku selalu menjawab hanya dengan senyum. Begitupun Ardi jika disindir-sindir temannya. Dan itu mungkin kian membuat mereka merasa benar.

“Di mana kak Ardinya memangnya?”tanyaku.
“Masih di dalam kak” jawab mereka. Aku lantas kembali masuk ke dalam mesjid.
Begitu masuk, ternyata ku dapati hanya aku perempuan yang ada di sana. Sedang Ardi duduk bersama tiga orang temannya yang lain. Lantas saja aku kembali keluar dan menarik seorang adik didik tadi. Dan memintanya menemaniku. Tidak baik kalau aku hanya sendirian di dalam bersama lelaki. Pun meski kami berada di dalam mesjid, akan lebih baik jika aku tidak sendirian. Pikirku.
“Husna bisa kan malam jum’at nanti bantu-bantu mendekor mesjid?” tanya Ardi di tengah-tengah rapat lanjutan itu.

“Insya Allah” jawabku dengan suara sangat pelan-dengan tidak berani menaikkan wajah kearah siapapun, terlebih Ardi.
***
“Assalamu’alaukim. Maaf sebelumnya Na, mas cuma mau menyampaikan sesuatu. Na tidak usah terlalu menanggapi ledekan teman-teman atau adik-adik remaja mesjid ya. Karena mas perhatikan kita mulai canggung satu sama lain. Saya tidak mau nantinya Na beranggapan buruk. Saya juga bisa menjaga diri. Kalau nanti ada yang menanyakan tentang kita katakan saja seperti kenyataannya, bahwa  kita tidak ada hubungan spesial. Saya kurang nyaman kalau Na jadi semakin canggung seperti ini. Wassalamu’alaikum” [1 pesan masuk]

Pesan penjang itu ku terima sehari sebelum malam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dia memang benar, mungkin dia mengirimiku sms seperti itu karena kejadian sore itu di mesjid saat pendekoran mesjid.
Waktu itu, teman yang seharusnya ikut membantuku mendekor mesjid tiba-tiba mengabari kalau ia tidak bisa bantu karena suatu alasan. Dan aku mulai kewalahan mengerjakan tugas ini sendirian. Hingga Ardi datang menawarkan bantuan. Aku tidak mungkin menolak, sebab memang banyak juga beberapa pekerjaan yang tidak mungkin ku lakukan. Mengaitkan tali di paku yang ada di atas langit-langit pojok mesjid. Dan beberapa lainnya banyak yang harus dilakukan dengan menggunakan tangga. Aku tak mungkin dan tak bisa melakukannya. Jadi hampir sejam Ardilah yang membantuku.

Awalnya tidak ada masalah, aku dan Ardi bisa menjaga pandangan dan kelakuan kami masing-masing. Tapi kemudian datanglah serombongan anak remaja dari kampung sebelah, dan dengan tersenyum-senyum mereka lantas menyindir kami terang-terangan.
“Kak Husna ma kak Ardi kompak ya.” Ucap seorang diantara mereka.

“Serasi lah pokoknya” sambung yang lain. Aku dan Ardi tersenyum, dan kian merasa canggung. Ku letakkan peniti-peniti  pengait tali di lantai. Lalu keluar mesjid sejenak. Ardi sepertinya memperhatikan tingkahku.
Ah ntah lah... semuanya berjalan begitu saja. Sebulan dikampung terasa begitu singkat rasanya. Ditambah masalahku dengan Ardi yang kian parah saja. Kini bukan hanya anak-anak remaja mesjid yang terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan aneh-yang mampu membuatku tersenyum-senyumsendiri-tapi beberapa ibu-ibu di kampung juga ikut-ikutan.

Astahfirullah...masalah kedekatan kami sebenarnya tidak benar kini tersebar dan menjadi gosip di kalangan gadis-gadis seusiaku bahkan ibu-ibu tetangga.
“Itu loh, Ardi. Kan pacaran sama Husnanya buk Ningsih. Kok bisa ya, bukannya buk Ningsih selalu ngumbar kalo Husna sudah punya calon, anaknya pak Jendral itu lo-Doni” begitu yang sering ku dengar samar-samar dari gosip ibu-ibu tetangga.

“Astakhfirullah...” aku hanya pasrah dengan setiap lirikan nada mencibir atau semacamnya terhadapku saat aku tanpa sengaja lewat di depan kumpulan beberapa ibu-ibu yang sedang mengosip atau ngumpul-ngumpul sore.
Apanya yang salah, pun kalau seandainya aku memang punya hubungan psesial dengan Ardi? Apa? Toh dia baik, agamanya, keluarganya, pribadinya, juga... ah ntah lah. Semua pandangan miring tetangga, bahkan Bundaku, pastilah sebatas alasan duniawi. Pasti.

Itu pastilah karena Ardi lahir dari keluarga dengan taraf ekonomi biasa saja serta pendidikannya yang juga sangat biasa saja. Ia lebih memilih bekerja dibanding melanjutkan pendidikannya untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya yang masih menginjakkan kaki di bangku SMA. Lalu, dimana salahnya?
Tingginya pendidikan seseorang tidak menjamin kematangan cara berfikir, tidak juga menjamin kemakmuran hidup-duniawi bahkan akhirat kelak. Alasan seperti itu terpatahkan jika Ardilah objeknya. Tanpa pendidikan resmi, ia punya cara berfikir yang insya Alah jauh labih baik dibanding teman-teman seusianya.

Tanpa pendidikan resmi, ia bisa punya rasa tanggungjawab besar terhadap semua kewajibannya. Tanpa pendidikan resmi, ia punya akhlak yang jauh lebih mulia dibanding lelaki manapun. Tanpa pendidikan yang...
“Na... ngelamunin opo toh?” ucap Bunda mengagetkanku.
“Ah, ndak Bun” jawabku pelan-sedari tadi sibuk menyetrika di depan tv.

‘Oya Na, si Doni kan masih sibuk sama kerjaannya. Jadi belum bisa dipastiin kapan ke rumah kitanya bawa keluarga” Bunda mulai membahas si Doni-yang ku tahu adalah si kaya, angkuh, suka memandang rendah orang lain, dan buruk pula akhlaknya- membosankan.
“Yo mbok kamu yang sekali-kali ke rumahnya bawa makanan gitu” sambungnya-kali ini sangat embuatku kaget.

“Astakhfirullah Bun, itu gk baek loh Bun. Seperti terlalu berharap nanti dikira keluarganya” jawabku sedikit menekan.
“Ya memang gitu maksudnya kok” jawabnya labih keras dariku.
“Tapi Na gk suka dia Bun, Na gk cinta” jawabku jujur.
“Teros? Kamu cintanya sama si Ardi itu? Hah!” aku tertunduk, tak sanggup menatap mata Bunda.
“Cinta kok dipikirin. Lagian siapa juga yang ndak berharap punya mantu anak jendral kayak Doni gitu, hah? Udah ganteng, keluarganya baek, Ardinya juga baek. Ndak kayak si Ardi” tambah Bunda. Aku mendengus dalam.

“Baek apanya Bun? Uangnya? Hartanya? Status sosialnya?” ceplosku mulai tak tahan.
“Yah itu juga diperbolehkan agama toh, karena berumah tangga itu juga butuh uang, butuh makan. Ndak melulu cinta” jawab Bunda. Kami kian sengit mempertahankan prinsip.
“Agama kita itu menganjurkan memilih suami utamanya pada agamanya Bun” jawabku mulai merendah, berharap Bunda mau mengerti.
“Doni juga kan Islam” jawab Bunda enteng. Aku hanya kian mendengus kesal, tapi tak ku nampakkan raut kesalku itu pada Bunda.

“Yang agamanya Islam memang banyak Bun, bang Norman juga Islam. Tapi apa Islamnya dia itu baik kwalitasnya...” jawabku, menunjuk pada bang Norman-si pemabuk, pemain perempuan dan raja maling di kampung kami.
“Ya itu beda, si Norman kan ndak pernah sekolah. Makanya gitu. La kalo si Doni itu beda. Sarjana.” jawab Bunda lagi-penuh intonasi kebanggan.

“Gk Bun, pendidikan tinggi juga ndak menjamin...” potongku, tapi terhenti karena Bunda juga ikut memotongku kemudian.
“Alah, sudah! Kamu ini memang susah kalo diomongin. Njawab teros. Bunda ngomong gini juga untuk kebaikan kamu, kebahagiaan kamu. Pokonya intinya, kalo kamu ndak suka sama Doni, kamu juga ndak boleh kawin sama Ardi. Titik. Kayak ndak ada laki-laki laen aja.” Serunya keras. Kemudian meninggalkanku-menuju ruang depan.
“Ya Allah...” desahku.
***
 
Kalau dek Husna ridho, mas punya niat baik mau melamar Husna bulan depan [1 pesan diterima]
Masih ku buka-tutup pesan mas Ardi beberapa hari lalu itu, pertimbanganku untuk menjawab apa pada pesan itu sangat mentok pada obrolan sengitku dan Bunda beberapa waktu lalu.
Jujur, aku memang menaruh hati padanya, diam-diam. Meski selalu menghindari obrolan-obrolan miring tetangga, tapi nyatanya memang aku mulai menyukainya. Bahkan mencintainya.
“Astakhfirullah...” desahku-sendiri, merebahkan tubuh penatku di kamar.
***
 
“Husna ndak suka Bun. Husna ndak mungkin berumah tangga dengan lelaki yang ndak Husna percaya bisa mbimbing Na, ndak bisa Bun...” jawabku perlahan, memberi pengertian pada Bunda saat ia mulai lagi dengan hasutan-hasutannya.
“Doni juga bilang mau ke rumah bawa keluarganya kalau kamu setuju ketemu sama dia dulu malam ini” jawab Bunda, kali ini memelas-tapi masih dengan nada menekan keras.

“Bun...”
“Y a sudah. Sekarang jujur saja sama Bunda. Kamu sudah punya pacar kan? Siapa? Ardi?” tanyanya seketika-tak sabar lagi ia mungkin. Aku terdiam, tak tahu mau menjawab apa-aku tertunduk.
“Bener kan?!” tanya Bunda lagi kian mengeras.
“Besok kamu cari tiket ke Jogja. Lanjutin S2. Lupain si Ardi itu. Kali ini jangan mbantah Bunda!” ucapnya-kali ini membuatku begitu lemas.

Kedua adikku mendengar semua debatan kami dari ruang tengah. Dari dapurakupun beranjak menuju kamar.
Ku rebahkan tubuh, ku buang kepenatan di kepalaku, ku banting hp ku jauh ke sudut tempat tidur. Dan perlahan aku tertidur...
***

Maaf mas, Husna alhamdulillah baru saja nyampe Jogja. Mungkin mas Ardi lebih baik ndak sama Husna. Bunda juga ndak setuju. Jadi Husna putusin mau melanjutkan pendidikan saja kesini. Mohon pengertiannya, Husna ndak bisa melawan Bunda. Husna yakin, Allah sudah menggariskan semuanya. Kalau jodoh pasti ketemu, insya Allah [pesan terkirim]
***
End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar