Kamis, 13 Oktober 2011

Ketika ku menutup mata


Awan putih di langit senja itu kian menguning, menandakan matahari beranjak ke peraduannya. Digantikan bulan kecil yang hanya separuh tampaknya.
Aku masih duduk menopang dagu, ku tekuk kedua kakiku hingga menyanggah lengan kanan yang sedari tadi menggenggam hp, mengharap ada seseorang yang diharapkan sekedar mengirimi pesan singkat. Didepan pintu kamar kosku yang berada di lantai dua itu setiap sore begini aku melamun, yah seperti sore ini jua, melamunkankan apa saja. Termasuk untuk urusan ‘lelaki’.

“Uddah… pulang aja, dari pada bingung gitu” Sela Erni, penghuni sebelah kamarku. Dinaik-turunkannya alisnya, menggoda.
Malas nian aku pulang kampong, ke Singkil. Mungkin syndrome teralu nyaman di Medan ini kambuh lagi. Hingga ada kabar lamaran dari adik bungsupun aku masih enggak ngeh untuk pulang.
“Belum pengen dilamar ah” jawabku nyeletuk.
“Itu sih masalah rejeki Miss… mungkin memang udah waktunya” jawabnya. Kami terbiasa dengan sebutan Miss, itu panggilan untuk guru bahasa Inggris muda yang belum menikah. Yup, secara kami memang kuliyah di Fakultas Pendidikan jurusan itu.

Senyum kecilku mengiringi jawabannya, hhh… tak ingin rasanya terfokus pada lamaran lelaki yang katanya ‘pencuri’ itu. Sebab pikiranku saja belum mau berpindah objek, maunya hanya pada lelaki satu lagi. Yang sebenarnya juga ‘pencuri’. Pencuri hati maksudnya, hehehe
Si pencuri yang tidak berniat mencuri mungkin, karena akunya saja yang teralu membuka ‘jendela’ lebar-lebar hingga tanpa sadar telah ada yang ‘tercuri’.

Si pencuri hati itu Amri namanya. Tepatnya setengah tahun lalu si pencuri itu nyolong hatiku. Waktu itu aku tengah pulang kampung, ada liburan tengah semester.
“Mi, nanti malam temenin ke walimahnya Dewi ya” pinta Rina padaku.
“Enggak mau ah, aku kan enggak diundang”
“Diundang kok, tapi waktu dia ngantar undangannya kamu kan lagi di Medan” jawabnya membuatku menyetujui permintaannya.

Singkat cerita kami telah ada di tengah-tengah pesta walimahannya Dewi, teman dekat Rina juga teman SMP ku dulu. Awalnya ku pikir aku hanya akan datang-duduk-diam menemani Rina, tapi nyatanya aku malah didaulat untuk naik ke atas panggung menyayikan beberapa lagu dangdut. What?!! Alih-alih bisa nyayi dangdut, qasidahan aja dijamin gk akan ada yang mau denger!

Tapi, menolakpun aku tak bisa. Akhirnya aku-yang nekat dengan kemampuan ngdangdut nihilpun naik ke panggung. Rina yang cekikikan di bawah panggung mencoba mencari solusi ketidakmampuanku ndangdut itu. Tapi apa hasilnya? Rina malah mendaulat seorang lagi, yap! Menjadi pelengkap penderitaanku. Di sinilah awal pertemuanku dengan Amri. Karena dialah korban daulat kedua Rina itu. Hehehe
Alhasil, si tampan itu mengambil alih mike yang ku pegang karena sedari tadi tanganku gemetar tak karuan. Sedang dia? Tenangnya bukan main. Ckckckc saluut…

“Assalamua’alaukim warahmatullahi wabaraokatuh” salamnya lentang penuh kewibawaan. Ni orang mau ndangdut ato ceramah ya, gerutuku tergelitik lucu. Tapi benar, dari penampilannya saja orang akan menabak dia itu… ustadz!
‘Wa’alaikumussalam…” jawabku spontan, mulai menyelidik setiap sudut pakaiannya. Celana keppernya hitam nian, kemeja merah hatinya begitu tampak rapi tersetrika, rambutnya tersisir indah, wajahnya mulus nan rupawan, plus dipadu jam tangan hitam di lengan kirinya juga sandal bertali menutup apik jemari kakinya. Yak ampuun, sederhananyaaa…

Dia, si pencuri hati itu, lalu sedikit mundur dan tampak berbisik pada sang pemain keyboard, aku tersadar sejenak. Lalu mulailah mereka tampak sibuk dengan kaset-kaset kecil di dalam sebuah kardus. Memilih lagu mungkin.
Dan, dentingan gitar serta piano yang memang bukan permainan asli sang pemain keyboard mulai bergeming. Satu demi satu nada itu terurai, tapi knapa aku yang penggila musik ini sama sekali tak mengenali siapa pemilik sebenarnya lagu yang tengah dinyayikannya itu. Dahiku mengerut, pun para hadirin walimahan Dewi.
Si tampan nan sederhana itu-yang baru ku tahu kini, nyatanya tengah menyayikan ‘Bukan Sang Hakim’ milik group vokal Maidani, yang asalnya dari Medan. Duh!! Aku saja yang telah 2 tahun kuliyah di Medan tidak tahu akan group vokal islami itu. Malunya…

Semalam terasa indah bersamanya…” mulailah lagi lagu itu menggema indah di telingaku. Bersenandung kian ria di hatiku. Loh kok?!!
Ya itulah alasanku mengatakan Amri memang si Pencuri hati. Di tengah-tengah banyaknya lelaki berpenampilan mewah pada waktu itu, aku justru tak dapat memalingkan perhatianku dari kesederhanaannya. Uhhh so sweet….

Bagaimana tidak, awalnya semua orang-pun aku-mengira dia akan berdangdut ria. Tapi nyatanya malah bernasyid ria. Menyentuh pula lagu yang dibawakannya itu, ah atau hanya hatiku saja yang tersentuh ya. Hehehe
Hingga lagu habis didendangkan, aku hanya sanggup terus berdiri. Mematung! Begitu tersadar, akulah yang justru jadi pelengkap penderitaannya-Amri. Kwkwkwkw
Hpku berdering, membuyarkan lamunan panjangku. Sebuah nama singkat tertulis di sana, Amri…
Gemetarku seketika menyeruak.

“Ha…halo…” ucapku.
“Assalamu’alaikum…” salamnya sopan. Duh bodohnya aku, harusnya aku yang mengucapnya duluan.
“Wa’alaikumussalam” jawabku begitu terasa meleleh oleh suaranya. Uhhhh
“Ana mau ngundang anti ke bedah bukunya Mbak Win minggu depan di Aula. Kira-kira bisa enggak?” tanyanya langsung. Dia memang tidak pernah berbasa-basi ria pada lawan jenisnya, secara dia itu seorang ‘ikhwa’, di kampus yang sama denganku. Itu yang ku tau dari hasil penyelidikanku beberapa bulan ini. Hehehe ketahuan.

Yah, si pencuri hati itu nyatanya adalah senior kelasku-2 tahun di atasku.
“Ana jadi moderatornya lagi akh?” jawabku langsung juga.
“Iya. Bisa kan, afwan merepotkan. Tapi ana minta bantuannya ya ukh, insya Allah ini yang terakhir ana minta tolong ukhti” duh tampan… aku juga enggak akan mungkin menolak kok. Hehehe
“Halo…” ucapnya. Wadduh! Aku melamun lagi.
“I…iya akh, insya Allah…” jawabku.

Akhirnya bisa ketemu lagi. Yah, sejak kenal dengannya di walimahan Dewi itu aku gencar menyelidik, mencari tahu aktifitasnya bahkan ikut nimbrung di komunitasnya. Dia aktifis KAMMI, makanya ia yang adalah seorang ikhwan tulen itu menyebutku ‘ukhti’. Dan aku? Menyebutnya akhi, hehe itu juga karna aku ikut gabung ke KAMMI 3 bulan lalu seketika aku tahu dia adalah kader KAMMI. Salah niat sih, tapi untuk awal enggak papa lah hehehe

“Akhwat itu enggak boleh asal berdiri di hadapan orang banyak. Makanya ana mau bantu anti nyanyi. Karena penampilan dan suara anti itu aurat” jawabnya sehari setelah walimahan di pertemuan pertama kami itu. Dia mengirimiku sms singkat itu karena aku-dengan tidak malunya-meminta no hpnya pada Rina. Bukannya bisa berkenalan lebih jauh, aku malah kena ceramah 7 menitnya di sms-sms pertama kami. Awalnya sebal sih, karena meski berjilbab cukup lebar, aku tidak seberlebihan dia dalam interaksi lawan jenis. Hmm tapi kekaguman itu makin parah saja menancap di dadaku. Hhh lebbay!

Kembali hpku berdering hebat, membuyarkan lamunanku lagi…
“Assalamu’alaikum…” ucapku.
“Wa’alaikumussalam, kapan kamu pulang Mi’? suara Bunda mengudara.
“Insya Allah minggu depan Bun, Rahmi masih ada kegiatan di kampus” jawabku sopan.
“Akhir bulan nanti keluarganya si Gun mau datang. Kamu pulang sebelum akhir bulan ya” pinta Bunda lembut, membuatku tak mampu menolak.

Ingin sekali ku sampaikan padanya bahwa anaknya ini belum siap menikah, apalagi dengan kondisi rohani yang masih kering…
Bun… Rahmi belum siap,Rahmi masih pengen memperbaiki diri dulu. Agama Rahmi belum benar Bun, gimana bisa berbakti pada suami kalo agama saja Rahmi beum paham benar…
Namun sekalimat itu tersedak tak sanggup keluar sendiri.
Yah… ku akui sejak si pencuri itu berhasil nyolong hatiku, keinginan memperbaiki diri dan agamaku kian membuncah. Awalnya yang sekedar berjilbab, kini aku kian menambah penutup auratku. Dengan rok longgar, kaus kaki, plus manset tangan. Semuanya mulai ku biasakan. 

Untuk niat awal memang salah sih, tapi insya Allah itu enggak akan berubah lagi.
Makanya Rahmi belum siap nikah Bun… karena di hati Rahmi sudah ada nama seorang ikhwan yang Rahmi yakini mampu menjadi imam untuk Rahmi…
Hhh sekalimat kedua itupun jua tertelan nafasku…

insya Allah ini yang terakhir ukh… “apa maksudnya?” gerutuku seketika mengingat kalimat Amri tadi.
“Ah yang penting bakal ketemu dia lagi” hehehe
***

Alhamdulillah… nyamannya berada di tengah-tengah keluarga begini, batinku sesampainya malam hari di rumah tercinta.

“Mi… besok malam rencananya Si Gun mau datang loh” sela Bunda diacara makan malam kami.
“Be…besok malam??” tanyaku kaget. Bunda mengangguk meyakinkanku.
“Buru-buru banget sih Bun” tambahku lagi, cemberut.
“Kan ini cuma silaturrahmi. Masalah kelanjutanya ya itu terserah kalian berdua nanti… yang penting ketemu dulu” jawab Bunda ringan. Ku lanjutkan makanku sedikit tak bersemangat meski ada rasa penasaran jua padanya, Si Gun. Hmm… siapakah dia??
***

“Duhh… udah datang!” gerutuku sendiri di dalam dapur. Yah, keluarga Si Gun-dan dia pastinya-telah duduk bersama Bunda di ruang tamu. Bunda memintaku tetap di dapur hingga dipanggilnya.
Sepuluh menit berlalu… limabelas menit… duapuluh… ah…
“kok Bunda belum manggil juga sih” desahku lelah menunggu.
“Rahmi…” tiba-tiba terdengar suara Bunda.

“Iya Bun…” jawabku dengan senyum penuh semangat.??? Kok jadi semangat gini. Hehehe
Aku keluar perlahan dari balik pintu dapur.
“jilbab biru tua serta gamis putih bermotif bunga biru ini… hmmm semoga tidak berlebihan” pikirku.
Sedikit ku angkat wajahku yang sedari tadi ku tundukkan begitu keluar dari dapur. Yang mana? Tanyaku dalam hati mencari-cari sosok si Gun itu. Yang ku dapati hanya 2 orang lelaki, yang satu seumuran anak SMA sedang yang satu seumuran pakdeku (abang Bunda).

“Apa dia tidak datang? Gk mungkin dia kan??” tanyaku sendiri dalam hati sambil mengarahkan lirikan pada sang bocah SMA di hadapku. Ia tersenyum,kembali ku tundukkan pandanganku.
“bukan… pasti bukan dia, gk mungkin bocah itu yang akan mengkhitbahku” pikirku.
“Assalamu’alaikum…” salam seorang tamu tiba-tiba. Pandanganku spontan mengarah pada tamu itu.
Dan… Amri!!

Mataku terbelalak, kaget nian rasanya. Sosok tampan nan sederhana itu ada di hadapku, ia datang ke rumahku. Untuk apa?? Tanyaku dalam hati. Jawaban-jawaban bodoh mulai muncul bergantian di benakku. Mau numpak wudhu mungkin, Cuma sekedar numpang cari alamat, atau mau numpang ke kamar mandi, atau mau…mengkhitbah?!
“Rahmi” sela bunda menepuk punggungku pelan. Seketika aku tersadar, lalu ku tundukkan pandanganku cepat-cepat. Ada apa Amri ke rumahku?
“Maaf bu, tadi sudah dibungkus. Tapi malah kelupaan bawanya” ucap Amri sambil menyerahkan sebuah bungkusan pada Bunda. Aku kian bingung. Amri kenal Bunda, dan ia justru duduk di tengah-tengah antara bocah SMA dan bapak tadi. Atau jangan-jangan… ah penuh sesak benakku dengan tebakan-tebakan itu.
“gk papa nak Gun, yang penting dikembalikan” jawab Bunda. Yang lain tertawa mendengarnya. Riuh keakraban begitu terasa.

“Gun??” desahku. Siapa Gun? Dia? Amri? Knapa Bunda memanggil ‘Gun’ pada Amri?
“Iya bu, tadi Cuma lupa. Kan saya sudah janji, terasa jadi hutang. Jadi balik lagi, demi melunasi hutang...” ucapnya sopan, yang lain tertawa kecil. Pada ngobrolin apa sih, desahku sendiri.
Aku malah terhenyuh-tapi masih tertunduk. Segudang tanyaku masih belum jelas terjawab, meski samar ia pastilah memang si Gun yang Bunda maksudkan itu.
***

Beberapa hari kemudian-selepas acara keluarga itu, Amri-juga si ‘Gun’ nya Bunda itu-jadi sering sms juga menelponku. Subuh dan juhur adalah waktu yang tak pernah ia lewatkan untuk menelpon atau sekedar mengirimiku sms singkat. Yahh, mengingatkanku shalat atau mengobrol singkatlah...
Foto Rahmi waktu SMP kok jelek ya [1 pesan diterima]

Aku mendengus, foto SMP yang mana? Pikirku penasaran. Dan setelah ku tanyakan...
Iya, Ibuk pernah meminjami ana album foto dek Rahmi kecil dulu. Itu lo yang waktu itu  buat ana datang terlambat ke rumah dek Rahmi [1 pesan diterima]
Dahiku mengerut, lalu manggut-manggut sendiri. Ternyata, Bunda sekongkol dengannya! Huh! Aku tersenyum, adarasa bahagia mendalam yang ku rasakan saat ini. Amri, si tampan bersuara indah itu ternyata adalah si Gun-calon imamku nanti. Insya Allah.
Kemudian ku pandangi kalender di dinding kamarku, kuarahkan mataku pada sebuah tanggal yang ku lingkari dengan tinta merah di bulan Desember –lusa.

Eh salah, bukan lingkaran. Lingkaran merah itu tepatnya adalah garis yang tak putus membentuk sebuah hati-kecil, namun sangat berarti. Karena di tanggal itulah kami akan jadi sepasang kekasih sungguhan ^_^
Amiin.
Ku tutup mataku mengikuti malam yang kian menggelap, dengan sebuah pesan singkat penutup dari mas Amri-si Gun tercintaku.

Bismillah, ana mencintaimu bidadariku. Tutuplah matamu dan tidurlah. Tak perlu dibalas, karena alhamdulillah ana sudah tahu jawabannya. [1 pesan diterima]
Aku tersenyum, bagaimana mungkin ia tak tahu jawabannya. Sehari ini saja aku sudah mengiriminya sepuluh kata rindu. hehehe








Tidak ada komentar:

Posting Komentar