Jumat, 22 April 2011

Sahabatku kini

“Wahyu…” sapa ku sedikit berteriak ke arah Wahyu. Tampak olehku kaos Bele ungu yang dikenakan Wahyu menyala cerah-begitu ketat membungkus tubuhnya yang tak sekurus tubuhku. Dipadu jilbab tipis yang selaras warnanya plus dengan rok putih motif bunga dan tak ketinggalan pula sepatu sepatu high heels putih setinggi 3 cm kesayangannya itu ikut mempercantik penampilannya. Tas hitam di jinjing di bahu kirinya sedang tangan kanannya tampak menenteng sebotol minuman mineral. Ku hampiri ia bersama dengan senyuman tulus sebagai seorang sahabat.
“Good morning Amel cuantiiiiiik” ucapnya manja padaku.  


Hari itu yang ku ingat hanya Wahyu yang selalu mengenakan kaos Bele dengan warna-warna mencolok, melambaikan tangan saat mendengar suaraku memanggilnya, kemudian berlari mendekatiku bahkan kemudian mencubit pipi atau sekedar menggandeng lenganku lalu menarikku ke ruang kelas kami.
“Pinjem hp dong”pintaku setelah dosen keluar ruangan. Dengan ikhlasnya ia berikan hp Nokia 6300nya. Kupasang headset ke telingaku, lalu pastilah terdengar lagu-lagu berbahasa asing serta ngebeat bahkan ada juga yang ngerock. Tapi itu tak mengherankan karena dari semester satu Wahyu memang penggila lagu-lagu bergenre keras.
“Ini lah lagu-lagu yang harusnya didengar mahasiswa jurusan Bahasa Inggris Mel…” jawabnya ketika ku tanya mengapa ia sangat suka lagu-lagu itu.
“Waktu shalat Juhur 15 menit lagi” toah Masjid di kampus kami mulai bersuara mengingatkan seluruh penghuni kampus. Tapi aku dan Wahyu tak menggubrisnya bahkan kami terus asik mendendangkan lagu-lagu tadi meski hanya ikut merot-merotin bibir saja.
Begitulah Wahyu dan aku setiap harinya, berlarian di keramaian hanya untuk saling menyapa. Berdendang ria dengan lagu-lagu keras bahkan tak jarang kami juga ikut lompat-lompat mengikuti gaya-gaya artis di tv. Menikmati saat-saat kuliyah tanpa beban serta paksaan. Itu terus berlanjut hingga beranjak ke semester empat. Tapi Wahyu tetaplah Wahyu seperti yang pertama kali kami bertemu.
Dan… itulah Wahyu, sahabat yang selalu membuatku penuh semangat, tertawa terbahak-bahak karena tingkahnya yang sesekali melucu. Atau sekedar mengejutkanku ketika aku sedang melamun.
Yah  itulah Wahyu, sahabatku.
Sahabatku yang dulu…
***
“Wahyu…” sapaku seperti biasa meneriakinya dari kejauhan, begitu tampak olehku tubuh jangkungya melewati  koridor kampus. Wahyu melambaikan tangannya diiringi senyuman manis, masih sama seperti kemarin bahkan setahun setengah terakhir  ini.
Tapi… tak lagi tampak olehku kaos Bele membelit tubuhnya, dahiku mengerut. Sedang Wahyu makin mendekat.
“Assalamu’alaikum  Amel cuantiiiik” ucapnya seraya meraih lenganku.
“?? Wa…wa’alaikummussalam…”
***

Hari itu, kamis di minggu pertama bulan September 2010. Lalu berlanjut ke hari Jum’at, Sabtu, Minggu… November, Desember… hingga 2010 beranjak naik ke tahun berikutnya.
“Assalamu’alaikum Amel cuantiiiiiik” masih itu yang ku dapati diawal pertemuanku tiap paginya di koridor kampus, dan ku jawab dengan tak bersemangat beberapa hari ini. Tapi senyum Wahyu masih mengembang seolah tak melihat raut kesal di wajahku.
Lihatlah… bukan hanya Bele yang tak pernah Wahyu kenakan lagi. Mulai darI jilbab tipis, high heels putih kesayangannya, hingga tas bahunya tak lagi pernah ku dapati melekat ditubuhnya. Bahkan semua itu kini telah berganti, menjadi baju-baju kemeja longgar nan memanjang hingga paha, rok hitam tanpa motif sama sekali, ditambah tas punggung hitam sederhana. Dan sepatunya, hanya sepatu lepek putih yang begitu simpel ku lihat ditambah kaus kaki yang tampak begitu tebal membalut kakinya.
“Pinjem hp” ucapku sedikit ketus padanya. Tapi masih seperti biasa, dengan tulus diberikannya hpnya padaku. Ku pasang headset ke telingaku dan…
“Lagu Akonnya kok gk ada? Britney Spears? Air Supply? Craig David, Vengaboys juga!” mataku melotot. Masih ku tekan-tekan tombol navigasi di hpnya. Tak juga ku temukan lagu-lagu itu. Yang ku dapati justru… Maidani! Raihan! Saujana! Opick! Saka!!!
“Sok suci” tiba-tiba sepotong suara terlontar lumayan keras dari arah belakang, aku merasa itutertuju untuk Wahyu. Ya memang untuk sahabatku itu, dan cemoohan semacam itusudah berulang kali ku dengar sendiri.
 Aku menoleh, membelalakkan mata pada semua teman, suara siapa itu? Aku mendengarnya samar-samar.
Hhhhh… pikiranku semakin penat, dan sentak aku beranjak dari kursiku mendekati Wahyu.
“Ini hpnya. Makasih!” ku hempaskan hp itu langsung ke telapak tangan Wahyu. Aku keluar ruangan, melangkahkan kaki tanpa arah membawa sehela nafas kesal terhadap Wahyu.
*** 
Seminggu kemudian…
Pagi ini, aku makin tersesat, mencari-cari dimana dia. Dimana Wahyu, sahabatku yang dulu. Tak ku dapati ia di koridor manapun, bahkan di dalam ruangan sekalipun.
“Nampak Wahyu gk Put?” tanyaku pada Putra-teman sekelasku. Ia hanya menggeleng.
Ku dudukkan tubuhku di kursi paling sudut dalam ruang kelasku. Aku terdiam, meski masih ada sesak di dada yang tertahan untuk Wahyu aku tetap saja mencarinya. Tapi aku seperti kehilangan dia, kehadirannya bahkan pribadinya yang dulu. Aku kehilangan semua darinya.
***
“Waktu shalat Juhur 15 menit lagi” toah Masjid memperingatkan ketika jam istirahat tiba.
“Shalat yok Mel…” suara yang tak asing itu ku dengar perlahan. Ku balikkan tubuhku, mencari-cari suara yang ku tahu adalah suaranya-Wahyu. Dan benar, itu dia. Ditariknya lenganku manja tanpa merasa ada sesuatu yang membatasi kami.
“Kali ini aku tak bisa berdiam diri, semuanya harus jelas!” Ucapku dalam hati.
“Gk ah. Sama yang laen aja sana” jawabku sambil melepas genggaman tangannya dengan kasar. Wahyu terkejut, dan menjauhkan tubuhnya dariku.
“Kok Amel gitu?” tanyanya begitu rendah nan sopan, masih dengan raut wajah terkejutnya.
“Wahyu yang kok kayak gini jadinya?!” jawabku kesal. Teman sekelas mulai memperhatikan kami. Tak ingin perdebatan ini dipandang banyak orang akupun keluar ruangan, Wahyu mengikutiku.
“Kamu knapa sih Yu…” tanyaku mulai melemah ketika kami telah berada hanya berdua di koridor sebelah ruang kelas.
“Maksud Amel apa, knapa bagaimana?” tanyanya tak paham, rautnya kini berubah memelas.
“Semuanya! Cara berpakaian, cara ngomong, sikap, kebiasaan, bahkan sampai selera musik kamu. Berubah! Semuanya berubah!” bentakku tak kasihan.
Ia terdiam sejenak.
“Apa kamu gk merasa dicemooh kawan-kawan Yu?” lanjutku sok tahu.
Lalu ia tersenyum manis-lebih manis dari biasanya. Dan raut wajahnya kini sangat berbeda, yang ku dapati justru wajah yang begitu  tenang, damai, seolah tanpa beban sedikitpun, bahkan tiba-tiba saja Wahyu tampak begitu cantik nan anggun dimataku.
Sejenak aku terlena…
Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang solehah. Hadits riwayah Muslim” ucapnya tiba-tiba dengan begitu tenangnya.
Wanita itu adalah aurat (yang harus ditutupi), bila ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankan ia begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya). Hadits riwayat At Tirmizy dan lainnya” sambungnya.
Aku makin terdiam.
“Aku masih sahabatmu Mel, walaupun menurutmu semuanya berubah” kini suara Wahyu kembali naik.
“Tapi itu hanya penampilan fisik. Masalah cara ngomong hingga selera musik, aku hanya menyeimbangkan antara pakaian yang aku kenakan dengan semua kebiasaanku selama ini, tidak ada yang berubah kok. Bahkan kamu, masih tetap sahabatku, my best friend forever lah pokoknya” lanjutnya. Sebuah senyum tenang diarahkannya padaku, dan ntah mengapa kini terrasa teramat sangat menancap hatiku.
“Yang sedikit berubah mungkin adalah prinsip Mel. Aku bukan mau sok munafik seperti yang teman-teman satu kelas tujukan padaku, aku hanya merasa ini baik untukku dan tidak merugikan siapapun.” Lanjutnya, matanya mulai sembab. Egoku mulai menurun dan meleleh tersiram oleh kata-kata Wahyu yang sedari tadi menghujaniku.
“Semuanya masih proses Mel, aku masih harus banyak belajar. Sekarang ini aku sangat butuh dukungan. Sebagai sahabat baik, Amel mau dong dukung aku…” sindirnya dengan mengedipkan mata sembabnya-seolah tak terjadi apapun- dan menarik lenganku.
Hatiku  tersentuh, air mataku mulai menggenang di pelupuk hingga akhirnya ku raih tubuh sahabatku itu dan tangis kami tumpah walau tanpa suara isak.
“Allahu Akbar Allahu Akbar…” gema azan berkumandang. Wahyu mengajakku ke Masjid, dan kini aku begitu saja mengikutinya tanpa rasa canggung. Ia tersenyum.
Hhhhh… akhirnya ku temukan kembali, dimana sahabatku. Wahyu, kini ia berada selangkah di depanku-raga bahkan jiwanya. Tapi kami akan terus dan selalu berjalan berdampingan, sebagai seorang sahabat. Sahabat baik.
***
“Wahyu…” sapaku seperti biasa dengan sedikit meneriaki Wahyu di koridor sebelah. Ku percepat langkahku ke arahnya.
“Assalamu’alaikum Wahyu cuantiiiiiik” salamku mengawali.
Wahyu membelalakkan mata, dan kembali melempar senyum. Atau bahkan mungkin kini telah menjadi gelak tawa ringan yang kian anggun ku dapati dari wajahnya
“Wa’alaikumussalam Amel jeleeeeeekkk!” :D
***

Oleh: 'Afiifa Hasnaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar