Senin, 20 Februari 2012

Lala, si yatim yang cantik

Malam tadi sakit gigiku mendadak begitu tak tertahankan, padahal sudah sangat larut-jam dinding kamarkupun hampir menunjuk pukul 12 malam tepat. tapi, mencoba pura-pura tidak merasakan ngilu gigi itupun semakin membuatku ingin menangis.

"uhgg, harusnya yang benar itu 'lebih baik sakit hati dari pada sakit gigi ini'..." gerutuku dalam hati.



sentak saja ku matikan laptop yang sedari tadi menemaniku begadang. kemudian ku senggol pelan tubuh teman sekamar kosku yang tampaknya sangat pulas. jadi tak enak...

"Na, temeni ke apotek yok... gigiku sakit kali laa" rengekku. Rina hanya mendesah terganggu.
"ngg... ngantuk ah" jawabnya setelah beberapa kali tubuhnya ku senggol.
"ayoook laaa... dah gk kuat Na. pliiiisss" suaraku makin memelas.
"iihhh, nyusain aja ah. makanya susu tu diminum pake air" repetnya padaku. aku hanya mendengus, mungkin sakit gigiku ini memang karna 2 sachet susu coklat yang ku hisap-hisap enak tanpa ku seduh, sehabis magrib tadi.

"kakak... kakak yang kemarin itu kan?" sapa bocah cantik di hadapku sesampainya aku di depan apotek 24 jam-di sebrang jalan puluhan meter dekat kos-kosanku.
tampak secarik kain usang-jilbab-membungkus wajah mungilnya. ada kotak hijau bertuliskan Kotak Amal  tengah didekapnya. juga tampak secarik kertas yang telah dipres ia kalungkan di lehernya, awalnya tertutupi oleh jilbab kecilnya itu.

"iya kan? kakak yang kemarin gk pake jilbab itu kan?" tanyanya lagi. aku keheranan, tak ingat. bocah itu tampak sangat cantik meski terdapat banyak debu diwajahnya.
"pernah ketemu kakak ya?" tanyaku menanggapi celotehannya lantas ku dudukkan tubuhku, menjongkok. kini tinggi kami sama. tebakku ia bocah berusia 6 tahunan.

"pernah. kakak yang kemarin gk pake jilbab itu kan?" diulangnya lagi pertanyaan itu. aku masih terheran, sebab seingatku tak pernah aku melepas jilbabku ketika bepergian keluar rumah, apalagi sejauh ini. aku tak lantas menjawab. mataku ntah mengapa sangat ingin membaca tulisan pada kertas yang ia kalungkan di lehernya.

Rumah Yatim, begitu tertulis tepat di bawah nama sang bocah itu, Lala.

"Na... giginya bengkak enggak?" teriak Rina dari dalam apotek. aku menggeleng, ia lantas kembali masuk.
"nama kakak siapa? lupa..." selesah suara mungil itu kembali menarik perhatianku.
"Hasnaa" ucapku sambil tersenyum.

"Lala ngapain malam-malam gini masih di sini?" tanyaku kemudian sambil menggenggam tangan kecilnya yang dingin. ku lihat jam tanganku menunjuk pukul 12 malam, hanya kurang beberapa menit saja.
"cari uang kak..." jawabnya dengan senyum mengembang, sangat lugu.
"sama siapa Lala? sendiri?"
"enggak kak, sama temen." jawabnya lantas menunjuk seorang temannya lagi di dalam apotek. aku melongokkan wajahku ke dalam apotek, lalu kembali ku tatp wajah kusamnya, kotak amal itu masih begitu erat ia dekap.

"kasian..." desahku.

"kakak dimana rumahnya?"
"Lala disuruh siapa ke sini?" tanya kami bertabrakan. aku lantas tersenyum. berharap ia terlebih dahulu menjawabku, tapi, ia tak kunjung mengeluarkan suaranya.
"rumah kakak jauh..." jawabku. ia hanya kembali tersenyum. kembali ku lirik kertas yang terkalung di lehernya.

Rumah Yatim, benarkah??

Siapa yang telah tega meninggalkan anak sekecil Lala di tengah-tengah kota dan di malam selarut ini, bahkan memerintahkan mereka mencari uang dengan cara seperti ini.
karena setahuku, rumah yatim mana yang harusnya melindungi mereka kini tampak justru menelantarkan anak yatim seperti ini? tak ada pasti.

Lala, senyumnya sangat lugu, manis, dan dari suara sapaannya terdengar sangat manja. harusnya ia tengah tertidur lelap bukan?

tapi... tak kudapati gurat kelelahan di wajahnya, yang ada hanya 'aku harus pulang membawa uang' mungkin itu dalam hatinya.

ah... sangat sakit gigiku sejenak hilang.

terlepas legal atau tidaknya selembar kertas bertuliskan Rumah Yatim itu, harusnya anak seusianya tidak seenaknya saja dibiarkan berkeliaran larut malam begini. apalagi dengan pakaian seperti yang ia kenakan, aku saja yang telah berjaket tebal masih merasakan dingin yang sangat. apalagi Lala dan temannya yang ku dapati hanya berpakaian setipis sapu tanganku.

"kakak gk ngasih uang?" ucapnya sambil menyodorkan kotak amalnya, itu sentak membuyarkan lamunanku. aku hanya diam tersenyum kecil, membodohkan diri.
"kalau saja aku tadi membawa uang lebih" sesalku. ingin meminta kembali uangku pada Rinapun, ia sudah terlanjur membeli obat sakit gigi itu.

"da da kakak..." sapanya lantas beranjak pergi dengan senyum sangat lugu. akupun membalas lambaian tangan kecilnya. senyumku padanya memberi semangat, meski sebenarnya bulir air mata itu mulai tak tertahankan.

Lala, semoga Allah melindungimu. amiin...

Do'aku untukmu, Lala...

Ya Allah, Rabb Yang Maha Tau
Adakah susah bagiMu memberi kemudahan bagi Lala?
tidak bukan?
mudahkanlah ia menjalani kehidupannya

Ya Allah, Rabb Yang Maha memberi rizki
Adakah susah bagiMu memlebarkan jalan rizkinya?
tidak bukan?
bagikanlah rizkiku padanya

Ya Allah, Rabb Yang Maha melindungi
Adakah susah bagiMu melindunginya?
tidak bukan?
lindungilah ia melebihi Kau melindungiku
***

Untuk mereka yang ada di belakang Lala

Tidakkah ada rasa yang menyentuh hati kalian?
ia masih kecil, harusnya ia tengah bermimpi
meringkuk manja dalam selimutnya
menggapai angan-angan, yang meski itu semu belaka
***

Untuk mereka 'sang wakil rakyat'

Tidakkah pernah kalian menerka,
bahwa masih banyak hal yang pantas kalian benahi?

bukan sekedar
menyiram WC tumpat kalian dengan uang
mengelap noda kue coklat di kursi rapat kalian dengan uang
menyiram atmosfer gedung kalian dengan wewangian uang
bahkan, menulis tangal-tanggal tahun depan dengan uang

tak pernahkah kalian mendengar
sesuara sumbang nan Lugu milik gadis-gadis kecil seperti Lala
"kakak mau ngasih uang?"... atau
"kakak mau ngasih aku 'masa depan'?"

...

(ditulis pagi hari, setelah malam tadi aku bertemu si yatim yang cantik itu, Lala...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar