Selasa, 13 Maret 2012

Tiket ke syurga??


"Bun... Iko minta seribu ya" pinta Iko-adik lelakilku saat hendak berangkat ke sekolah.
"Loh, untuk apa sayang? kan Bunda sudah buatin Iko bekal" jawab Bunda lembut sambil menatapnya-ia sedikit menundukkan wajah. Maklum, badan Iko hanya setinggi pinggang Bunda. Akupun menghentikan langkahku menuju motor.

"Hmm... mau beli tiket Bun" jawab Iko polos.
"Tiket? tiket apa?" tanya Bunda.
"Rahasia dooong..." jawab Iko. Bunda mengarahkan pandangannya padaku. Aku menaikkan bahu, memberi isyarat tak tahu. Lantas mualai menstarter motoku hendak berangkat ke sekolah.
"Beli tiket apa sayang? kok cuma seribu? apa cukup??"
"Cukup kok Bun... kata Ustadz Hasan cukup" jawabnya menyebut nama guru ngajinya itu-makin membuat kami bingung. Tapi Bunda lantas memberi uang seperti yang ia minta, seribu rupiah.


Keesokan paginya...
"Bunda... seribu dong..." pinta Iko, sama dengan pagi kemarin. Dan sama, setiap Bunda tanya untuk apa Iko hanya akan menjawab untuk membeli tiket yang dirahasiakannya itu. Hmmm aneh.
Seminggu kemudian...
"Bunda..." teriak Iko kecil mencari-cari Bunda.
"Seribu lagi ya?!" tanyaku mengagetkannya dari balik pintu kamar.
"Iih Mbak... ngagetin aja!" jawabnya kesal.
"Untuk beli tiket apa sih Ndut? kok tiap pagi minta uang seribu..." tanyaku mengejek.
"Mbak tu yang endut. enak aja bilang Iko endut!!" jawabnya manja. "Adda aja!! wek!!" tambahnya.
***

"Mbak, Iko turun di sini aja..." ucapnya sama seperti sepekan ini-setiap kami hampir sampai di gerbang sekolah dasarnya.
"Mbak langsung berangkat sana..." usirnya seperti biasa. Iko tak pernah mengijinkanku menemaninya masuk ke dalam komplek sekolahnya. Padahal sebelum kejadian meminta seribu perak setiap pagi pada Bunda itu Iko selalu ku antar sampai ke dalam komplek.
Aku lantas menggas motorku, tapi... kali ini rasa penasaranku tak terbendung lagi. Aku berniat mengikutinya. sebenarnya, apa sih yang dilakukann adikku itu.
Mengapa adik kecilku itu akhir-akhir ini selalu meminta uang seribu-menolak jika diberi lebih oleh Bunda-dan selalu minta diturunkan di pinggir jalan meski belum benar-benar sampai di sekolahnya.
Ku amati dari jauh Iko terus berjalan. Bukannya menuju gerbang sekolah, tapi sedikit lebih ke samping. Mau ngapain sih!!
Akhirnya, ia terhenti sekitar 20 meter di depan. Aku lantas memarkir sembarang motorku dan bersembunyi di balik pohon pinang hias-mengintip...

Tapi tak terlihat olehku apa yang tengah ia lakukan? Lantas Iko berjalan kembali, kini menuju gerbang sekolah. Dan masuk ke dalam komplek. Aku lantas berlari mengendap-endap menuju tempat ia singgah tadi.
"Sebenarnya anak itu naruh apa sih tadi..." pikirku sebab tadi aku melihatnya merogoh saku dan mengulurkannya pada seorang yang asik duduk di bawah pohon di sana.
Akhirnya aku sampai...
Aku tercekat. Dihadapku ada seorang wanita tua tengah duduk-sambil menggendong anaknya dengan sehelai kain panjang. Mereka tampak sangat lusuh dan kumuh. Wanita itu menatapku...
"Sedekah dek..." ucapnya lirih.
Sorenya, sepulang sekolah, kuputuskan mengatakan ini pada Bunda.
"Iko...sini sayang" panggil Bunda ketika melihatnya pulang bermain.
"Iko... Bunda mau tanya. Tapi harus janji jawab yang jujur ya" ucap Bunda. Aku duduk di dekat Bunda.
"Iya. Kan kata Ustadz Hasan gk boleh bohong. Apalagi sama orangtua" jawabnya polos sambil melirikku. Aku hanya tersenyum.

"Iko beli tiket apa sih sayang? Bunda sama Mbak penasaran loh" tanya Bunda, ekspresi Iko mulai berbeda. Ia seperti tak ingin mengatakannya.
Dan benar, ia menggeleng.
"Kan tadi udah janji sama Bunda gk akan bohong..." pinta Bunda.
"Iko kan cuma geleng Bun..." ucapnya menunduk. aku dan Bunda saling berpandangan-bingung.
"Iko, sebenarnya kemarin Mbak lihat kamu ngasih sesuatu sama nenek yang duduk di dekat gerbang sekolah..." akhirnya aku turun tangan.
"kok Mbak tau? Mbak ngikuti Iko ya” potongnya.
"Maaf ya..." jawabku agak ragu.
"Mbak dosa tau ngikutin Iko tanpa seijin Iko" jawabnya polos. Bunda tersenyum mendengarnya.
"Sayang... Bunda tau anak Bunda punya hati yang baik. Mbak... Iko... Bunda bangga punya anak-anak seperti Mbak dan Iko. Bunda cuma takut kalau di luar sana, sewaktu Bunda tidak melihat kalian, kalian berbuat yang tidak baik..." ucap Bunda. Iko menunduk lagi, tapi kemudian menaikkan wajahnya kembali.

"Iko gk ngapa-ngapain kok Bun..." ucapnya.
"Trus... Iko ngapain ketemu sama nenek itu?" tanya Bunda. Sebenarnya aku tahu kalau uang seribu yang selalu ia minta itu setiap pagi ia sedekahkan pada sang nenek di samping gerbang itu. Tapi, mengapa Iko harus berbohong dan takut mengatakannya pada Bunda juga aku?
"Uang seribu yang Bunda kasih selalu Iko kasih sama nenek itu..." jawabnya menatap Bunda, kemudian kembalimenunduk. Raut wajahnya seolah sangat merasa bersalah.
Bunda tersenyum, ia memandangku.
"Trus... knapa Iko bohong?" tanyaku.
"Bohong? Bohong apa Mbak?" tanyanya menatapku.
"Kan Iko bilang untuk beli tiket..." lanjutku.

"Iya sayang... bukannya Iko sendiri yang bilang kalo Ustadz Hasan selalu mengajarkan Iko untuk tidak berbohong? Lagian pasti Bunda kasih kalau Iko bilang uang itu untuk disedekahkan. lebih juga Bunda kasih, sayang..." tambah Bunda.
"Tapi Bun, Mbak... Iko gk bohong. itu untuk beli tiket" jawabnya. Aku dan Bunda saling memandang lagi, makin bingung. kemudian aku dan Bunda melihat lekat pada Iko.
"Kata Ustadz Hasan sedekah itu tiketnya ke syurga Mbak, Bun..." jawabnya menatap kami bergantian.
"Kata Ustadz Hasan, kalau kita mau bersedekah gk boleh ada yang tau Bun. kan ikhlas..." tambahnya lagi kian polos.
“makanya Iko gk mau Mbak sama Bunda tau.” Tambahnya.

Ya Allah...
Iko... desahku. Senyumku jadi kaku, Iko membuat sekujur tubuhku memaku. Sedang ku lihat mata bunda berkaca-kaca menatap anak lelaki kecilnya itu.
“Kata Ustadz Hasan kalo kita banyak sedekah malaikat Ridwan pasti mau kasih tiket ke syurga Bun...” tekannya lagi pada Bunda. Bunda makin tersenyum sembari menahan harunya.
Bunda lantas memeluknya erat, aku hampir saja menangis. hehehe

"Iko..." ucap Bunda.
"Iya..." jawab Iko polos.
"Iko jadi anak Ustadz Hasan aja sana" guyon Bunda kemudian. Aku tertawa kecil, raut khawatir wajah Bunda kini berubah 360 derajat. Ia senang bukan main melihat ank lelaki kecilnya punya hati yang mulia.
"gk mau ah Bun... Ustadz Hasan brewoknya serem" jawabnya kian membuat kami tertawa.
:D

(salah satu dari 20 cerpen dalam buku Goresan Pena Anak Medan yg akan launching April nanti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar