Kamis, 22 September 2011

Ceritaku semasa PPL (Part 1)


Aku beserta kesepuluh teman PPL ku mendapat tugas mengajar di Yayasan Nurul Islam Indonesia Baru-di SMP khususnya-sejak sebulan yang lalu. Kami mengajar sesuai jurusan yang kami ambil di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) tiga  tahun terakhir ini. Ada yang mengajar  Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pkn, dan lainnya. Dan aku sendiri bertanggung jawab untuk mengajar Bahasa Inggris kelas 7-sebanyak dua kelas, 7.1 dan 7.3. sedang 7.2 di pegang oleh Wulan, teman sejurusanku.
Sebulan berjalan, alhamdulillah belum ada halangan atau hambatan yang berarti bagi kami-khususnya aku. Semuanya terasa lancar-lancar saja. Yah bisa dibilang aku dan kesepuluh teman-temanku itu mulai merasa ‘sehati’ dengan murid-murid pun dengan lingkungan yayasan yang gedungnya-bercat hijau- tampak tertata apik dari kejauhan itu.
Terlebih lagi, aku dan Wulan mendapat pembimbing yang sungguh baik dan ramah-Miss Hikmah-ini membuat apapun terasa lebih mudah dan tak membebani. Karena Miss Hikmah cenderung mendidik dengan cara mengarahkan, tidak dengan menyuruh-nyuruh. Setiap selesai mengajar, kami akan langsung dikoreksinya. Membenarkan yang belum benar kemudian memperbaikinya dilain kesempatan mengajar, juga memberitahukan apa yang belum kami tahu. Hmm... semuanya dapat dikendalikanlah pokoknya hehehe...
Sebulan ini-seperti yang ku katakan tadi-berjalan tanpa ada hambatan yang berarti, aku malah mulai melirik dan memfokuskan diri pada hal-hal kecil yang menurutku menarik untuk diselidiki (cek ileee, dah kayak detektif ya :D)
Dan semua itu membuat PPL ku semakin asyik saja. Ada ‘sesuatu’ yang sampai-sampai membuatku terkejut, berkeringat, tertawa kecil, tersenyum-senyum, bahkan menangis haru. Dan ada pula yang mampu membangkitkan rasa marahku.
Hmm... semuanya insya Allah ku tulis dengan apa adanya, dan dengan caraku sendiri ^_^

WAKASEK Pak Suhargiono
Diawal perkenalan kami dengan yayasan dan para dewan guru tetap di sana, kami telah diberitahu bahwa nantinya akan banyak berkomunikasi langsung dengan Wakasek-Pak Suhargiono-dalam membicarakan segala hal. Ini membuat aku sedikit mengenal ‘Pak Sederhana’ itu. Yah, aku menyebutnya dengan Pak Sederhana, dan itu bukan tanpa alasan.
Setahuku, ia selalu datang lebih  awal dibanding para dewan guru lainnya. Terlebih kami yang masih menjabat sebagai para calon guru. Hehehe
Pak Sederhana itu juga punya penampilan yang sangat berbeda dengan para guru lainnya, bahkan jika dibandingkan dengan kepala sekolah sekalipun. Menurutku ia lebih cocok disebut  guru pesantren dibanding guru sekolah umum seperti biiasanya.
Yah, aksesoris khas yang ia pakai begitu sederhana, dan hampir itu-itu saja setiap harinya. Menurutku bukan karena ia tak mampu membeli yang lebih mewah atau baru melainkan karena memang sifat rendah hatinya itulah ia mempertahankan segala yang ia pakai.
Ia selalu mengenakan pakaian yang sederhana. Kemeja batik dan celana goyang panjang warna hitam polos. Setahuku sebulan ini belum pernah aku mendapati ia tidak mengenakan batik, minimal ia akan mengenakan koko hijau muda. Itupun sesekali saja.
Ia juga selalu mengenakan lobe atau kopiah putih, dan sebulan ini saja belum pernah aku mendapati seperti apa bentuk keningnya. Hmm... Aku suka itu.
Tau yang ku suka apa? Lobe putihnya itu ada dua. Yang satu sangat putih bersih, seperti baru, tapi sepertinya tidak baru. Hanya tampak masih fresh saja warnanya. Dan yang satu lagi-ini yang ku suka-berwarna putih lusuh. Warna putihnya tidak secerah lobe lainnya, tampak sudah sangat usang. Ada 3 sobekan sebesar jari telunjuk di kedua sisi dan depannya, hingga bagian dalam yang warnanya kehijauan tampak jelas jika diperhatikan pun hanya dengan sekilas mata.
Aku suka ia mengenakan lobe itu-yang meski telah usang-karena memang setahuku ia lebih sering mengenakan lobe itu dibanding yang satunya lagi. Ntah apa alasannya, tapi mungkin ya itu tadi-karena sifat kerendahan hatinya. Meski ia Wakasek, ia tidak lantas menjadikan dirinya harus tampak lebih mewah dari yang lain dalam berpenampilan.
Ditambah llagi, Pak Sederhana ini sukaaa sekali tersenyum. Tidak hanya pada orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya, tapi dengan murid-muridnyapun ia tetap ramah tersenyum. Seperti seorang kawan dibuatnya para murid-murid itu.
Seperti hari ini, aku mendapatinya merangkul pundak Diki-murid kelas 7.3. dan dengan senyumnya tadi, mengajak Diki mengobrol sambil berjalan mengarah masuk ke ruang kelas.
Ia, Wakasek yang sangat aku hormati-lebih dari siapapun di yayasan itu. Dan aku-dengan malu mengakuinya-sudah jatuh cinta pada semua kewibawaannya.
Cit-citaku dan cita-cita mereka
Hari itu-aku lupa hari apatepatnya-aku diminta seorang guru, Bu Mardah namanya, untuk menggantikannya masuk ke kelas 8.3 mengawasi murid-murid belajar.
“Mereka sudah saya beri tugas. Tolong diawasi ya Bu...” pintanya padaku. Aku tersenyum mengiyakan dan langsung masuk ke kelas tersebut.
Memang ini bukan pertama kali aku masuk ke kelas itu, sebelumnya aku pernah juga diminta menggantikan guru IPA yang kebetulan tidak masuk. Jadi pertemuan kedua ini tidak lantas membuatku salah tingkah di daam kelas. Justru mereka,murid-muridku, tampak senang katika melihatku menenteng tas masuk ke dalam kelas.
“Gantikan ya Miss” tanya beberapa dari mereka. Dan ku iyakan kemudian.
Beberapa menit ku perhatikan, sepertinya ada yang berbeda. Yah,jumlahmereka sedikit lebih banyak dibanding kali pertama aku masuk.
“Banyak yang pindah dari kelas lain ya?” tanyaku kemudian.
“Iya Miss. Dari 8.1 ma 8.2 Miss” jawab Mitha yang duduk di dekat meja guru di depanku. O... desisku.
Semua awalnya berjalan nyaman, semua murid tenang-diam dan tidak banyak membuat keributan. Ini karena ada tugas yang harus mereka selesaikan. Tapi lihatlah, beberapa menit setelah selesainya mereka mengerjakan tugas yang ada, keributan mulai terdengar. Dan mulai sangat keterlaluan.
Ismi Azis, siswa lelaki satu itu kurus tinggi, bandelnya minta ampun-tapi wajahnya manis hehehe. Ia mengalungkan dasi panjang di lehernya, lalu mengikatnya kuat-kuat di lehernya sambil berdiri. Ku tegur, dan alhamdulillah mau duduk kembali meski masih sibuk dengan urusan dasinya itu. Tersenyum aku dibuat wajah manisnya.
Kemudian, terdengar lagi keributan dari arah belakang paling pojok bangku barisan sebelah kanan. Ia sang ketua kelas. Wajar saja ia terpilih jadi ketua kelas, sepenglihatanku badannya memang yang paling kekar diantara siswa laki-laki lainnya. Putih, dan... banyak bicara! Juga aktif.
Lihat saja, teman sebangku serta kedua teman di depan dan belakang tempatnya duduk habis dipukulinya. Gaya memukulnya bak seorang Krish John. Tangannya mengepal penuh semangat. Ia tak sadar kalau aku sudah beberapa menit memperhatikannya meninju-ninju teman-temannya itu. Yang mengherankan, mengapa para ‘korban’ nya itu justru tertawa-tawa saat dipukulinya.
Aku beranjak dari kursi dudukku. Tidak untuk memarahinya, tapi menenangkan suasana.
“Ada yang mau cerita sesuatu gk sama Miss?” tanyaku. Keributan mulai sedikit redam.
“Cerita apa Miss?” tanya beberapa siswi perempuan.
“Terserah, apa ajja. Cita-cita, hobi, atau apapun. Yang penting kita gk ribut...” ucapku kemudian.
“Gk ada yang punya cita-cita di sini Miss” kata seorang siswa dari belakang. Yang lain malah tertawa.
“Wah, kalo gitu untuk apa capek-capek sekolah?? Mending langsung minta dicarikan sepetak tanah aja kan??’ ucapku. Murid yang mengerti maksudku langsung tertawa, yang tidak paham hanya memelototiku-menunggu ucapanku selanjutnya.
“Ya, untuk apa hidup kalau kita tidak punya impian. Ya kan?” lanjutku. Mereka mulai memperhatikanku.
“Miss cita-citanya apa Miss?” tanya Rizka-siswi hitam manis yang duduk di bangku ketiga di hadapku.
“Ya guru lah, bodoh!” sela sang ketua kelas. Yang lain tertawa lagi.
“Siapa bilang Miss punya cita-cita jadi guru?” belaku kemudian. Rizka pasti punya pemikiran sendiri hingga ia-yang sudah jelas tahu aku adalah seorang guru-menanyakan apa cita-citaku.
“Loh, kan Miss udah jadi guru.” Sela Mitha.
“Iya, tapi belumtentu itu adalh cita-cita terrtinggi Miss. Ya kan?” yang lain mulai serius.
“Trus apa cita-cita Miss, Miss?” sambung Ismi.
“Kalo Miss dari kecil punya cita-cita jadi Sutradara” jawabku.
“Weeehh... ngeri ya Miss” sela yang lain.
“Sekarang masih pengen jadi sutradara Miss?” lanjut Riska. Aku menggelang.
“Jadi?” lanjutnya.
“Sekarang dan insya Allah seterusnya, Miss punya cita-cita pengan kayak Andrea Hirata.” Aku terhenti. Mereka tampak bingung. Aku tersenyum, menunggu ada yang mau berkomentar.
“Oh... itu, penulis ya Miss.” Komentar Mitha dengan semangat. Aku mengangguksembari menatapnya tajam.
“Buku apa yang paling terkenal yang Andrea Hirata tulis??” tanyaku kemudian.
“Laskar Pelangi!” jawabnya antusias-penuh kemenangan. Yang lain hanya diam. Hingga beberapa menit kkemudian tidak ada yang mampu berkomentar lagi. Sayang, harusnya mereka juga tahu hal-hal seperti ini.
“Kalo Miss boleh nebak, Miss mau nebak cita-cita kalian” ucapku.
“Sok tau Miss...” ucap Ismi, masih memegangi dasinya.
“Gini-gini Miss keturunan dukun!” ucapku meawak. Mereka tertawa.
“Ismi. Kamu pasti punya cita-cita jadi artis!” ucapku sok tau. Ia terkejut.
“Kok tau Miss??” jawabnya dengan malu, disusul ejekan teman-temannya.  
“Huuuuuu...” aku hanya tersenyum puas.
“Minimal, nanti Ismi bisa jadi model iklan dari” ucapku lagi. Disusul tawa yang lain lagi.
“Kamu, katua kelas.” Ucapku menunjuk sang ketua kelas, ia langsung memperhatikanku.
“Kamu pasti punya bakat jadi...”
“Petinju!” ucapku.
“Petinju Miss...” ucap teman sebangkunya hampir bebarengan denganku. Yang lain mulai terkesima dengan kemampuan supranaturalku. Hehehe
“Kok tau sih Miss” ucap Mitha menimpali. Hehehe, aku tersenyum geli-penuh kepuasan...
Padahal semuanya cuma asal nebak. ^_*
 Miss, Wonder woman!
Hari itu, aku datang sepuluh menit lebih awal dari jadwal masuk di jam pertama. Aku piket. Jadi sejak sebelum setengah delapan aku sudah ada di ruang dewan guru.
Jam pelajaran pertama telah lewat, masuk ke jam kedua, ketiga dan beberapa menit lagi jam istirahat. Aku dan Nindi-teman piketku, ia mengajar pelajaran Bajasa Indonesia-masih duduk di meja piket yang kami susun di depan ruang dewan guru. Kalau piket begini sudah pasti membosankan, hanya duduk-mengecek pergantian jam-menerima tamu-mengurusi siswa yang hendak meminta ijin pulang karena sakit atau sekedar karena ada urusan keluarga, begitu seterusnya hingga jam pulang sekolah.
Tapi hari itu, Tansa-temanku yang mengajar Matematika-lari terburu-buru dari  lantai dasar-kami ada di lantai 2-sambil menjinjing roknya menaiki tangga.
“Buk Teti, tolong Buk...” ucapnya panik, ia mendongakkan kepalanya ke dalam ruang dewan guru.
“Ada anak murid yang kejang-kejang Buk” jawabnya sambil menarik lenganku,masih dengan wajah panik. Kami lantas berlari menuju ruang 7.1.
Benar, ada kerumunan kecil di dalam kelas. Aku kurang ingat nama siswi yang kejang-kejang itu, tapi seingatku ia sebangku dengan Nia.
“Kok bisa kejang Buk?” tanyaku pada Tansa.
“Kepleset tadi Miss” jawab Nia yang memangkunya.
“Dimana?” tanyaku sambil menarik tubuh siswi itu.
“Di kamar mandi katanya” jawab Tansa. Aku langsung memapahnya, tapi tubuhnya sangat lemah. Benar-benar lemah. Aku seperti tidak mendapati ada tulang dibalik tubuhnya. Nafasnya kian terengah-engah, penuh sesak. Melihat Tansa-yang masih panik dan tidak kunjung mendektakan dirinya pada anak itu-aku jadi tak sabar. Ku tarik tubuh siswi tadi, bagian tubuh atasnya ku cengkram dengan tangan kiriku. Sedang kakinya ku papah dengan tangan kananku. Aku membopongnya. Ntah dapat kekuatan dari mana aku langsung berjalan, tergopoh-gopoh menuju UKS di dekat gedung SD yang kira-kita berjarak 150 meter. Sebagian murid-murid yang tengah ada di lapangan-seketika melihatku-langsung mengerumuniku. Hendak membantu. Tapi sia-sia, aku tidak menggubrisnya. Aku terus saja berjalan, meski dengan sepatu hakku, serta denga rok yang lumayan sempit aku terus berjalan. Penuh percaya diri. Hingga sampai di tempat tujuan. Alhamdulillah...
Seketika itu petugas UKS langsung ikut membantuku menaikkan siswi itu ke ranjang UKS. Petugas itupun memberinya air hangat. Si siswi masih kejang-kejang. Aku jadi panik hebat, tanpa sadar keringat sudah membasahi wajah dan jilbabku.
“Sudah Bu, nanti saya yang urus” ucapnya menenangkan. Aku lantas keluar ruangan, dan mendapati banyak pandangan kagum murid-muridku di depan ruangan UKS.
“Miss kuat kali Miss...” sela beberapa muridku. Aku hanya terengah lelah. Yah, aku sendiri tidak sadar bahwa siswi itu berat badannya hampir setengah berat badanku. Ya ampun...
Lantas aku menuju gedung SMP-melewati lapangan olahraga tadi.
“Wonder woman ah Miss Teti” sela seorang siswi kelas 8. Aku tersenyum malu. Kian malu saat ada seorang guru olahraga muda memandangiku, sambil tersenyum. Senyumnya seperti senyum takemenyangka. Hehehe bagaimana tidak, jilbabku kan lebar, rokku tidak membebaskanku melangkah panjang, sepatuku berhak, ditambah beratnya siswi itu, kesemuanya itu tidak ada yang  membuatku merasa susah membopong siswi tadi.
Aku malu sekali...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar