Jumat, 30 September 2011

Menjualnya...


“Maukah kau menjadi istriku?”
***
Ia kaya, rupawan, sangat  berprestasi di bidangnya, dan dihormati banyak orang karena profesinya. Kebanggaan duniawi hampir semua ia miliki. Tapi, Ia bukan seorang yang spesial-keimanannya. Ia juga bukan seorang yang spesial-akhlaqnya.

Sebut saja ia Arman. Pemuda 24 tahun, seorang yang ambisius, emosional, penuh semangat, dan bukan seorang penyabar. Ia seorang prajurit Kelautan. Gagah, juga energik.
Gadis manapun yang mengenalnya, ku pastikan akan jatuh hati. Begitupun-orangtua manapun yang mengenalnya, ku pastikan juga akan mengusahakan anak gadisnya bisa bersanding dengannya.
Tapi malangnya, lamaran lelaki itu justru jatuh padaku.

Yang kata orang-gadis biasa, prestasinya tak ada yang membanggakan, wajah pas-pasan, harta juga masih nunggu warisan, yang kudapati alasan ia mau menjadikanku istri sejauh ini hanya...
“Adek Anna ini solehah”mungkin itu karena jilbab lebarku.
Awalnya aku senang, bangga, kadang juga sedikit sombong. Setidaknya aku punya ‘identitas’ yang patut di banggakan. Agamaku.

Masya Allah, ‘setidaknya’??
“Maaf bang, Anna belum siap menikah” jawabku-dua bulan setelah ia menanyakan “Maukah kau menjadi istriku?”. Dan setelah ia medeklarasikan buah pikirannya “Tapi abang mau nanti kalau sudah jadi istri abang, jilbabnya jangan lebar-lebar ya”

Kecewa, pasti. Makanya lantas penolakan itu ku layangkan.
Aku tak pernah memberi alasan panjang mengapa aku menolak, tapi pikiranku tentang ‘setidaknya’-itu-kian membuatku rendah di hadapan Allah. Di tambah pernyataan yang membuatku kecewa berat itu. Karena ku kira nantinya ia juga akan berpandangan sama denganku-ketika mau menjadikan perempuan berjilbab lebar sebgai istrinya. Belum lagi pengakuannya yang semasa mudanya sangat hobi berpacaran. Hhh...
Tapi, aku tak mungkin menjual separuh agamaku demi urusan duniawi, hingga ku pertaruhkan separuhnya lagi.
Kalau ia sendiri mencari istri yang ‘berjilbab lebar’, aku juga ingin mencari suami yang punya kebanggaan atas agamanya. Bukan kebanggan duniawi seperti ia. Duniawi memang perlu, tapi akhirat yang utama.

Aku juga tak ingin bersombong diri dengan kesalehahanku, hingga membuatku buta dan menjadikannya suami-yang sangat dipandang the best oleh semua orang. Alhamdulillah kalau ia bisa menjadi baik ketika menikah denganku, tapi bagaimana jika ia-bahkan aku-justru menjadi lebih buruk di hadapan Allah karena pernikahan ini? Sebab imanku juga masih belum sempurna, aku masih butuh pembimbing, pemimpin, dan penuntun. Selain Allah, Nabiku, aku juga butuh suami yang bisa membawaku ke jannah-Nya.
Dan ku rasa ia memang bukan yang terbaik untukku, setelah tahajud ku lakukan beberapa malam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar