Apa yang akan kamu
lakukan, ketika kamu tau Tuhan hanya memberi 1 hari terakhir, untuk bisa
bersama dengan seseorang yang sangat kau cintai?
***
Lisa berdiri mematung, di beranda rumahnya—menunggu
kedatangan Arif, lelaki yang 4 tahun terakhir ini selalu bersamanya.
Menemaninya kemanapun dan dimanapu—sedih, bahagia—selalu bersama.
Tapi, Arif belum juga tiba.
“Selalu seperti ini! Bisa cepat sedikit gk sih?!” bentaknya
dalam telepon. Akhir-akhir ini mereka kerap bertengkar hebat. Meski dengan
masalah yang sangat sepele. Lisa cenderung lebih pemarah, memang. Dan Arif
selalu bersikap lebih sabar setiap kali ia marah.
“Aku datang lagi besok, gk papa kan?” tanya Arif sesampainya
di rumah Lisa. Wajahnya sangat pucat. Ada butiran keringat kecil yang merembas
di wajahnya. Lisa langsung masuk ke rumah dan menutup pintunya tanpa mengucap
sepatah katapun. Dibantingnya pintu rumahnya—masuk ke dalam kamar, kemudian
mengirimi pesan singkat kepada Arif.
Kita
putus aja!
Arif menerimanya, namun tak ingin membalasnya. ia tampak
linglung—langsung membanting tubuhnya di kasur, tidur.
Sedang Lisa, ia menunggu balasan pesannya dengan sangat
gusar—memeluk guling dan menangis kecil. Ntah apa yang ia pikirkan.
Lama menunggu, iapun tertidur...
***
“Aku suka kamu...” ucap Arif. Lisa hanya tersenyum, kepang
rambutnya tampak terkibas saat ia menoleh—pura-pura tak mendengar ucapan Arif.
Arifpun ikut tersenyum, malu. Itu saat pertama kali mereka bertemu.
“Kangen...” ucap Arif di telepon. Lisa tak menjawab. Namun dari
sebrang ia tampak tersenyum lepas.
“Kangen kamu...” ucap Arif juga, kali ini saat mereka bertemu di
perpustakaan sekolah. Lisa membalasnya dengan senyuman, kemudian mencari-cari
buku dan menenggelamkan kepalanya. Malu.
“Aku sayang kamu...” Lisa
membaca tulisan itu di sepotong kertas yang dilempar Arif kepadanya—saat sedang
mengerjakan tugas kelompok. Ia hanya tersenyum. Sedang Arif, raut wajahnya
sendu melihat Lisa tak mau menjawabnya.
“Lisa... aku sayang kamu” kali ini masih Arif, ia memang ekspresif
terhadap Lisa. Tapi, sesering Arif mengucap kata sayang, maka sesering itu pula
Lisa menjawabnya dengan senyuman kecil—ntah malu, atau mungkin memang tak
pernah punya jawaban untuk Arif.
“Lisa...”
“Aku benci kamu!” potong Lisa—selalu setiap mereka bertengkar.
“Aku tetap sayang kamu...” ucap Arif kecil, Lisa—seperti
biasa—berlari pergi meninggalkan Arif sendiri. Arif hanya selalu memandangi
perginya dari belakang.
“Lisa... aku pengen ngomong” kali
ini ditelepon Arif mencoba untuk serius. Ada yang ingin dikatakannya.
“Apa?” tanya Lisa singkat.
“Aku sangat mencintaimu...” ucap Arif begitu dalam. Dan seperti
biasa, Lisa tak menjawab. Ia tersenyum kecil mendengarnya—senang, namun tak
seekspresif Arif. Sedang Arif menunggu jawabannya. Jawaban yang tak pernah ia
dengar keluar dari bibir Lisa.
“Lisa, aku kangen. Tapi aku datang lagi besok ya, gk papa kan?”
atau seperti sore tadi saat ia datang ke rumah Lisa. Wajahnya sangat pucat, ada
butiran kecil keringat yang merembas di wajahnya. Tanpa ada jawaban Lisa
langsung pergi—masuk ke dalam rumah—Arif hanya memandanginya dari belakang.
Saat ia membanting pintu dan masuk begitu saja, tanpa mau memandangnya.
Lisa tak tau, kalau Arif menangis... ia lelah ucapan aku sayang kamu-nya tak pernah ia balas.
Arif menangis dalam lalu pergi.
Diperjalanan pulang, Arif tampak melamun. Hingga ia tak sadar
bahwa ada sebuah truk besar membunyikan klakson ke arahnya—kemudian
menghantamnya. Ia terhempas. Sesaat sebelum matanya tertutup, ada kata yang
coba dibisikkannya.
Lisa, aku
sayang kamu...
***
Lisa terbangun, kepalanya terasa sangat berat, juga ada bekas
airmata yang masih menempel di pelupuk matanya. Ia bercermin dan menyekanya.
Tiba-tiba handphone yang digegamnya jatuh, ia kaget.
Aku sayang
kamu...
Ada sebuah pesan dari Arif. Airmata Lisa kembali jatuh, tanpa ia
sadari. Ia menyeka airmatanya lagi—bingung mengapa ia menangis padahal ia tak
sedang sedih.
Deg deg...
ia
merasakan sendiri detak jantungnya.
“Arif...” desahnya.
Aku ke rumah ya,
tunggu di depan...
Pesan dari Arif masuk lagi. Ia melihat rincian pesannya—pukul
09:34...
Ternyata hari sudah pagi, Lisa tak menyadari bahwa ia tertidur
semalaman—dan berada di hari yang berbeda.
Dan Lisa, menunggu kedatangan Arif seperti kemarin. Kali ini tanpa
keluhan, Lisa juga tak ingin menelponnya hanya untuk marah-marah dan mengatakan
bisa cepet dikit gk sih!.
Arif tiba. Wajahnya pucat. Sangat pucat. Lisa melihatnya
janggal—kemudian tersenyum kecil, berlari menuju Arif. Ia langsung naik ke
motor Arif—merapatkan jemarinya ke pinggang Arif. Kemudian tanpa sepatah
katapun Arif membawanya berjalan ntah kemana. Menyusuri jalan tanpa arah.
Sejam kemudian mereka telah ada di sebuah taman ilalang kering. Semua
ilalang tampak menguning—kering. Indah...
Arif memarkirkan sepeda
motornya di tepi jalan. Lisa memintanya memindahkannya sedikit lebih ke dalam.
“Banyak truk...” ucapnya. Arif hanya tersenyum. Lisa memandangnya
heran,sedari tadi Arif hanya tersenyum menanggapi semua perkataan Lisa.
“Arif, kamu kenapa?” Lisa coba menanyakannya. Mereka duduk di atas
sepedo motor—saling diam memandangi ilalang kering di depan. Arif tak menjawab,
ia kembali tersenyum ke arah Lisa.
Lisa memandangnya kian aneh. Diamatinya setiap garis wajah lelaki
yang baru hari ini sangat asing baginya. Lantas, sentak ia kembali disergap
rasa takut—akan mimpi yang malam tadi ia alami.
Arif terhantam truk...
Airmata Lisa jatuh lagi.
“Lisa, kamu kenapa?” kali ini Arif bersuara—melihatnya menangis.
Ia menyekanya.
“Aku... aku...” ucap Lisa terbata. Kali ini Lisa memeluknya
berani. Setelah 4 tahun bari kali ini Lisa mengatakan berani memeluk Arif. Arif
tersenyum di pelukannya. Sejenak...
“Aku...” coba Lisa lagi. Aku
sayang kamu... kali ini ucapannya tertahan di dada. Ntah apa yang menahan
ucapannya itu.
“Bentar ya...” potong Arif—melepas pelukan Lisa. Melihat ada airmata
di pelupuk Lisa, Arif menyekanya.
“Mau kemana?” tanya Lisa khawatir. Arif hanya tersenyum.
“Aku sayang kamu...” ucapnya, lalu beranjak menyebrang jalan. Arif
melihat seorang anak kecil mencoba meraih bola yang berada di luar pagar besi.
Tangannya terlalu kecil hingga tak sampai.
“Makasih kak...” ucap bocah kecil itu setelah Arif menolongnya.
Arif tersenyum. Kemudian menoleh, dan kembali tersenyum pada Lisa.
Arif melambaikan tangan ke arah Lisa—masih dengan senyumnnya yang
manis. Dan ia tampak akan kembali menyebrang jalan untuk kembali bersama Lisa.
Deg deg...
suara
detak jantung Lisa kembali terdengar. Ia tersentak. Lalu menoleh ke samping
kiri.
Ada truk...
Lisa berlari ke arah Arif, dan melambaikan
tangannya—mengisyaratkan untuk melihat ke sebelah kiri. Arif malah tersenyum
dan ikut melambaikan tangannya. Lisa mencoba berteriak.
“Truk Rif... awas!!” teriaknya keras.
Arif terus berjalan—tak mendengar Lisa berteriak dari kejauhan.
“Rif... awaaass...” teriaknya lagi. Arif masih tak mendengar.
Bahkan suara klakson truk besar itu juga tak membuatnya sadar. Arif masih terus
melangkah dan melambaikan tangan ke arah Lisa.
“Awas.....” Lisa histeris, ia jatuh, terduduk—menangis—saat truk
seolah tak lagi memiliki jarak dengan tubuh Arif.
“Aku sayang kamu...” ucap Arif—malah, meski Lisa tak mendengarnya.
Kemudian truk besar itu menghantam tubuh kecilnya. Dan...
***
Aku sayang kamu, Rif... ucap Lisa
sendiri—di taman ilalang kering itu, setahun kemudian.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar