Sabtu, 02 Juni 2012

Aku sayang kamu


Apa yang akan kamu lakukan, ketika kamu tau Tuhan hanya memberi 1 hari terakhir, untuk bisa bersama dengan seseorang yang sangat kau cintai?
***
Lisa berdiri mematung, di beranda rumahnya—menunggu kedatangan Arif, lelaki yang 4 tahun terakhir ini selalu bersamanya. Menemaninya kemanapun dan dimanapu—sedih, bahagia—selalu bersama.
Tapi, Arif belum juga tiba.
“Selalu seperti ini! Bisa cepat sedikit gk sih?!” bentaknya dalam telepon. Akhir-akhir ini mereka kerap bertengkar hebat. Meski dengan masalah yang sangat sepele. Lisa cenderung lebih pemarah, memang. Dan Arif selalu bersikap lebih sabar setiap kali ia marah.
“Aku datang lagi besok, gk papa kan?” tanya Arif sesampainya di rumah Lisa. Wajahnya sangat pucat. Ada butiran keringat kecil yang merembas di wajahnya. Lisa langsung masuk ke rumah dan menutup pintunya tanpa mengucap sepatah katapun. Dibantingnya pintu rumahnya—masuk ke dalam kamar, kemudian mengirimi pesan singkat kepada Arif.
Kita putus aja!

Arif menerimanya, namun tak ingin membalasnya. ia tampak linglung—langsung membanting tubuhnya di kasur, tidur.
Sedang Lisa, ia menunggu balasan pesannya dengan sangat gusar—memeluk guling dan menangis kecil. Ntah apa yang ia pikirkan.
Lama menunggu, iapun tertidur...
***
“Aku suka kamu...” ucap Arif. Lisa hanya tersenyum, kepang rambutnya tampak terkibas saat ia menoleh—pura-pura tak mendengar ucapan Arif. Arifpun ikut tersenyum, malu. Itu saat pertama kali mereka bertemu.
“Kangen...” ucap Arif di telepon. Lisa tak menjawab. Namun dari sebrang ia tampak tersenyum lepas.
“Kangen kamu...” ucap Arif juga, kali ini saat mereka bertemu di perpustakaan sekolah. Lisa membalasnya dengan senyuman, kemudian mencari-cari buku dan menenggelamkan kepalanya. Malu.
“Aku sayang kamu...”  Lisa membaca tulisan itu di sepotong kertas yang dilempar Arif kepadanya—saat sedang mengerjakan tugas kelompok. Ia hanya tersenyum. Sedang Arif, raut wajahnya sendu melihat Lisa tak mau menjawabnya.

“Lisa... aku sayang kamu” kali ini masih Arif, ia memang ekspresif terhadap Lisa. Tapi, sesering Arif mengucap kata sayang, maka sesering itu pula Lisa menjawabnya dengan senyuman kecil—ntah malu, atau mungkin memang tak pernah punya jawaban untuk Arif.
“Lisa...”
“Aku benci kamu!” potong Lisa—selalu setiap mereka bertengkar.
“Aku tetap sayang kamu...” ucap Arif kecil, Lisa—seperti biasa—berlari pergi meninggalkan Arif sendiri. Arif hanya selalu memandangi perginya dari belakang.
“Lisa... aku pengen ngomong” kali  ini ditelepon Arif mencoba untuk serius. Ada yang ingin dikatakannya.
“Apa?” tanya Lisa singkat.
“Aku sangat mencintaimu...” ucap Arif begitu dalam. Dan seperti biasa, Lisa tak menjawab. Ia tersenyum kecil mendengarnya—senang, namun tak seekspresif Arif. Sedang Arif menunggu jawabannya. Jawaban yang tak pernah ia dengar  keluar dari bibir Lisa.

“Lisa, aku kangen. Tapi aku datang lagi besok ya, gk papa kan?” atau seperti sore tadi saat ia datang ke rumah Lisa. Wajahnya sangat pucat, ada butiran kecil keringat yang merembas di wajahnya. Tanpa ada jawaban Lisa langsung pergi—masuk ke dalam rumah—Arif hanya memandanginya dari belakang. Saat ia membanting pintu dan masuk begitu saja, tanpa mau memandangnya.
Lisa tak tau, kalau Arif menangis... ia lelah ucapan aku sayang kamu-nya tak pernah ia balas. Arif menangis dalam lalu pergi.
Diperjalanan pulang, Arif tampak melamun. Hingga ia tak sadar bahwa ada sebuah truk besar membunyikan klakson ke arahnya—kemudian menghantamnya. Ia terhempas. Sesaat sebelum matanya tertutup, ada kata yang coba dibisikkannya.
Lisa, aku sayang kamu...
***

Lisa terbangun, kepalanya terasa sangat berat, juga ada bekas airmata yang masih menempel di pelupuk matanya. Ia bercermin dan menyekanya.
Tiba-tiba handphone yang digegamnya jatuh, ia kaget.
Aku sayang kamu...
Ada sebuah pesan dari Arif. Airmata Lisa kembali jatuh, tanpa ia sadari. Ia menyeka airmatanya lagi—bingung mengapa ia menangis padahal ia tak sedang sedih.
Deg deg... ia merasakan sendiri detak jantungnya.
“Arif...” desahnya.
Aku ke rumah ya, tunggu di depan...
Pesan dari Arif masuk lagi. Ia melihat rincian pesannya—pukul 09:34...
Ternyata hari sudah pagi, Lisa tak menyadari bahwa ia tertidur semalaman—dan berada di hari yang berbeda.

Dan Lisa, menunggu kedatangan Arif seperti kemarin. Kali ini tanpa keluhan, Lisa juga tak ingin menelponnya hanya untuk marah-marah dan mengatakan bisa cepet dikit gk sih!.
Arif tiba. Wajahnya pucat. Sangat pucat. Lisa melihatnya janggal—kemudian tersenyum kecil, berlari menuju Arif. Ia langsung naik ke motor Arif—merapatkan jemarinya ke pinggang Arif. Kemudian tanpa sepatah katapun Arif membawanya berjalan ntah kemana. Menyusuri jalan tanpa arah.
Sejam kemudian mereka telah ada di sebuah taman ilalang kering. Semua ilalang tampak menguning—kering. Indah...
 Arif memarkirkan sepeda motornya di tepi jalan. Lisa memintanya memindahkannya sedikit lebih ke dalam.
“Banyak truk...” ucapnya. Arif hanya tersenyum. Lisa memandangnya heran,sedari tadi Arif hanya tersenyum menanggapi semua perkataan Lisa.

“Arif, kamu kenapa?” Lisa coba menanyakannya. Mereka duduk di atas sepedo motor—saling diam memandangi ilalang kering di depan. Arif tak menjawab, ia kembali tersenyum ke arah Lisa.
Lisa memandangnya kian aneh. Diamatinya setiap garis wajah lelaki yang baru hari ini sangat asing baginya. Lantas, sentak ia kembali disergap rasa takut—akan mimpi yang malam tadi ia alami.
Arif terhantam truk...
Airmata Lisa jatuh lagi.
“Lisa, kamu kenapa?” kali ini Arif bersuara—melihatnya menangis. Ia menyekanya.
“Aku... aku...” ucap Lisa terbata. Kali ini Lisa memeluknya berani. Setelah 4 tahun bari kali ini Lisa mengatakan berani memeluk Arif. Arif tersenyum di pelukannya. Sejenak...
“Aku...” coba Lisa lagi. Aku sayang kamu... kali ini ucapannya tertahan di dada. Ntah apa yang menahan ucapannya itu.

“Bentar ya...” potong Arif—melepas pelukan Lisa. Melihat ada airmata di pelupuk Lisa, Arif menyekanya.
“Mau kemana?” tanya Lisa khawatir. Arif hanya tersenyum.
“Aku sayang kamu...” ucapnya, lalu beranjak menyebrang jalan. Arif melihat seorang anak kecil mencoba meraih bola yang berada di luar pagar besi. Tangannya terlalu kecil hingga tak sampai.
“Makasih kak...” ucap bocah kecil itu setelah Arif menolongnya. Arif tersenyum. Kemudian menoleh, dan kembali tersenyum pada Lisa.
Arif melambaikan tangan ke arah Lisa—masih dengan senyumnnya yang manis. Dan ia tampak akan kembali menyebrang jalan untuk kembali bersama Lisa.
Deg deg... suara detak jantung Lisa kembali terdengar. Ia tersentak. Lalu menoleh ke samping kiri.
Ada truk...
Lisa berlari ke arah Arif, dan melambaikan tangannya—mengisyaratkan untuk melihat ke sebelah kiri. Arif malah tersenyum dan ikut melambaikan tangannya. Lisa mencoba berteriak.
“Truk Rif... awas!!” teriaknya keras.

Arif terus berjalan—tak mendengar Lisa berteriak dari kejauhan.
“Rif... awaaass...” teriaknya lagi. Arif masih tak mendengar. Bahkan suara klakson truk besar itu juga tak membuatnya sadar. Arif masih terus melangkah dan melambaikan tangan ke arah Lisa.
“Awas.....” Lisa histeris, ia jatuh, terduduk—menangis—saat truk seolah tak lagi memiliki jarak dengan tubuh Arif.

“Aku sayang kamu...” ucap Arif—malah, meski Lisa tak mendengarnya.
Kemudian truk besar itu menghantam tubuh kecilnya. Dan...
***

 Aku sayang kamu, Rif... ucap Lisa sendiri—di taman ilalang kering itu, setahun kemudian.
***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar